Contoh Analisa Kasus Lingkungan : Pencemaran Sungai Cisadane
ANALISA KASUS
PENCEMARAN SUNGAI CISADANE
MATA
KULIAH : ILMU LINGKUNGAN
OLEH : H.
GALIH GUMELAR
NIM :
1807020008
PROGRAM
PASCA SARJANA MAGISTER HUKUM
UNVERSITAS
ISLAM SYEKH YUSUF
TANGERANG
– 2019
PEMBAHASAN :
Dampak dari permasalahan pembangunan
Kota Tangerang yang mengakibatkan munculnya permasalahan di lingkungan hidup,
salah satunya adalah pencemaran sumber air, yaitu sungai Cisadane yang
pencemarannya disumbangkan dari limbah industri. Keberadaan sungai Cisadane
merupakan sumberdaya alam terbesar yang dimiliki kota ini. Pencemaran sumber
air ini mengancam kualitas lingkungan hidup.
Sejatinya, desentralisasi lebih
diarahkan untuk dapat lebih menyelesaikan masalah lingkungan yang beragam dan
kompleks sesuai dengan konteks lingkungan di masing-masing daerah.
Desentralisasi menjadi modal bagi aparat pemerintah daerah untuk
mengimplementasikan tata kelola lingkungan hidup ke arah yang lebih baik lagi.
Sayangnya, fakta di lapangan tidak seindah sebagaimana desentralisasi itu
berjalan untuk mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing
daerah.
Pengelolaan lingkungan hidup
diselenggarakan dengan asas tanggung jawab pemerintah daerah, asas
berkelanjutan dan asas manfaat. Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan untuk
mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup untuk
kesejahteraan masyarakat. Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diberi tanggung
jawab untuk itu adalah Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH). Sejak
berganti nama dari Dinas
Lingkungan Hidup, BPLH yang dibentuk pada
tahun 2009 memiliki peran yang lebih berat dalam mengelola lingkungan, yang
salah satunya adalah melakukan pengawasan kepada industri untuk meminimalisir
beban pencemaran di sungai Cisadane. Pengawasan ini dilakukan dengan mekanisme
pengolahan air sungai, uji laboratorium dilakukan setiap bulan, laporan uji air
1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan, dan keseluruhan laporannya adalah setiap
semester. Selain mengawasi kegiatan industri, BPLH harus mampu menegakkan hukum
bagi industri yang masih melanggar peraturan dalam pengendalian pencemaran oleh
limbah. Upaya yang dilakukan berupa pemantauan dan pengawasan untuk industri.
Berdasarkan
Peraturan Walikota No.16 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Industri,
terdapat 37 jenis badan usaha, yang berkontribusi menyumbang limbah ke sungai
Cisadane, seperti pada tabel 1.2 berikut:
Tabel 1.2
Daftar badan usaha yang
berkontribusi menyumbang limbah ke sungai Cisadane
No.
|
Jenis Industri
|
No.
|
Jenis Industri
|
1.
|
Industri soda kaustik dan
klor
|
20.
|
Industri
minyak sawit/minyak goreng dan turunannya
|
2.
|
Industri logam dan pelapisan logam
|
21.
|
Industri tapioka
|
3.
|
Industri peleburan logam
|
22.
|
Industri ethanol
|
4.
|
Industri pulp dan kertas
|
23.
|
Industri MSG
|
5.
|
Industri
percetakan (printing karton dan kemasan, printing tekstil, printing plastik)
|
24.
|
Industri cat (cat dan
pengecatan)
|
6.
|
Industri
pewarna (pewarna kertas, pewarna tekstil, pewarna tinta)
|
25.
|
Industri farmasi
|
7.
|
Industri karet
|
26.
|
Industri pestisida dan herbisida
|
8.
|
Industri gula
|
27.
|
Industri desinfektan
|
9.
|
Industri
tekstil dan industri berbahan baku tekstil (garmen, tekstil terpadu)
|
28.
|
Industri produk sanitari
|
10.
|
Industri makanan dan minuman dari susu
|
29.
|
Industri kosmetik
|
11.
|
Industri makanan lainnya
(mie, bihun, kerupuk, permen, pemanis buatan, tahu, tempe, agar-agar, bahan
kue, hunkue, kecap, saos,coklat, roti, kopi, sirup,biskuit, pewarna makanan)
|
30.
|
Perbengkelan
|
12.
|
Industri minuman (minuman
ringan (berkarbonasi, sirup), minuman tradisional (tak beralkohol))
|
31.
|
Industri penghasil oli dan
sejenisnya
|
13.
|
Industri
minuman bir dan minuman beralkohol
|
32.
|
Karoseri
|
14.
|
Industri pakan ternak
|
33.
|
Elektronik
|
15.
|
Industri
sabun, deterjen, dan turunan minyak nabati
|
34.
|
Pengolahan
air bersih/air minum/air mineral dan pabrik es
|
16.
|
Industri laundri dan pencelupan
|
35.
|
Industri barang plastic
|
17.
|
Industri baterai dan accu
|
36.
|
Industri khusus (Industri
yang telah ditetapkan parameter BMLnya dan tidak termasuk di dalam kelompok
ndustri yang ada)
|
18.
|
Industri kayu lapis
|
37.
|
Industri lainnya
|
19.
|
Industri penyamakan kulit
|
Sumber: Peraturan Walikota Tangerang Nomor 16 Tahun 2009
tentang Baku Mutu Air Limbah Industri
Berdasarkan
buku Laporan Akhir Pemantauan Kualitas Lingkungan Tahun 2009, pada tahun
2004 secara keseluruhan terdapat 1444 industri
yang terdiri dari beberapa jenis:
1.
Tekstil
(pakaian jadi/garmen) dan berbagai barang dari tekstil, sebanyak 506 buah
2.
Makanan,
sebanyak 218 buah
3.
Barang
dan plastik, sebanyak 207 buah
4.
Barang/peralatan
dari logam, sebanyak 98 buah
5.
Barang dari kayu, sebanyak
92 buah
6.
Industri
lain, seperti kertas dan berbagai kemasan karton, percetakan, bengkel, produksi
rumah tangga, cat, bahan-bahan kimia, alat-alat listrik dan elektronik, dan sebagainya.
Keberadaan industri tersebut
tersebar, tetapi yang keberadaannya di sekitar sungai Cisadane adalah sebanyak
688 industri. Pada hulu sungai sudah terjadi pencemaran, sehingga di bagian
hilir sungai terjadi
peningkatan pencemaran.
Berdasarkan
buku Laporan Akhir Pemantauan Kualitas Lingkungan Tahun 2009, bahwa kondisi
sungai Cisadane, dari 2 (dua) kali pemantauan menunjukkan bahwa
kualitasnya dalam keadaan
cemar ringan. Parameter yang melebihi baku mutu kelas II berdasarkan PP No.82 Tahun
2001, adalah perameter oksigen terlarut
(DO), fosfat total,
BOD5, COD, dan fecal coliform.
Selain itu, biota yang masih baik dengan kelimpahan biota (fitoplankton) sedang
dan merata. Hal ini menggambarkan kondisi sungai tercemar ringan yang berasal dari bahan pencemar organik
dan anoganik yang dapat berasal
dari saluran domestik maupun outlet IPAL
(Instalasi Pengolahan Air Limbah) industri yang ada di sekitarnya.
Berdasarkan
pengamatan awal peneliti dan hasil wawancara pendahuluan, BPLH Kota Tangerang
menghadapi berbagai hambatan yang menjadi permasalahan dalam upaya
mengendalikan pencemaran sungai Cisadane. Masalah pertama adalah mengenai pencapaian target yang dapat dilihat dari pelaksanaan tujuan organisasi. Dilihat
dari pencapaian target
tahun 2009, target BPLH Kota Tangerang dalam mengawasi dan menegakkan
hukum bagi industri yang masih melanggar peraturan, sudah terealisasi secara kuantitas. Berdasarkan hasil wawancara
dengan Amaludin (staf bidang pengawasan dan penegakkan hukum) tanggal 3 Maret 2010, pencapaian target dapat dilihat seperti tabel 1.3,
seperti berikut:
Tabel 1.3
Pencapaian target pengawasan pada industri
Tahun
|
Target
|
Realisasi
|
2009
|
150
industri/perusahaan
|
180
industri/perusahaan
|
2010
|
150
industri/perusahaan
|
20
industri/perusahaan (sampai dengan Februari 2010)
|
Sumber: Wawancara dengan
Amaludin (Staf Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum), 3 Maret 2010
Secara
kuantitas, target bisa saja dicapai, bahkan dapat melampaui target. Tetapi
secara kualitas, masih belum dapat dicapai karena masih tersendat pada follow up kegiatan-kegiatan industri
secara administrasi
maupun teknis. Selain itu,
penekanan yang berasal dari intern BPLH, yaitu penekanan pada perolehan Adipura
membuat pegawai tidak terlalu fokus kepada upaya pengendalian dampak lingkungan, sehingga sedikit berpengaruh
terhadap hasil pengawasan. Ditambah lagi karena jumlah industri mencapai
ratusan, sehingga pegawai bidang pengawasan dan penegakkan hukum kewalahan
untuk menginventarisir hal-hal yang harus dilakukan oleh industri/perusahaan,
seperti halnya apakah memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) atau tidak, dan apakah IPAL nya dalam kondisi
baik atau buruk, dan sebagainya. Jumlah industri tidak sebanding dengan jumlah
pegawai bidang pengawasan dan penegakan hukum yang hanya
terdiri dari 12 personel. Tentu saja hal tersebut di
atas mengakibatkan tindak lanjut untuk industri yang tidak taat peraturan menjadi
agak lambat. Tindak
lanjut tersebut akan
memutuskan apakah industri tersebut hanya akan mendapat pembinaan dari BPLH
atau sudah dalam tahap penegakkan hukum.
Masalah kedua adalah kemampuan adaptasi, yang
dapat dilihat dari sejauh mana organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi baik
dari dalam organisasi maupun luar organisasi. Adaptasi BPLH Kota Tangerang
terhadap perubahan yang berasal dari luar organisasi adalah terkait kebijakan
yang berasal dari pemerintah pusat maupun dari kepala daerah. Kebijakan tersebut
berupa Undang-Undang No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan
hidup, yang di dalamnya hanya mencakup pembinaan bagi industri yang melanggar
peraturan, yang kini beralih ke Undang-Undang
No.32 Tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan
lingkungan hidup, yang di
dalamnya mencakup hukuman (penegakkan hukum) secara yuridis formal. Dengan
mengacu pada Undang-Undang yang baru tersebut, penyesuaian yang dilakukan oleh
BPLH memakan waktu yang cukup lama untuk dapat melaksanakan pekerjaannya karena
aturan-aturan yang terdapat dalam Undang-Undang baru lebih banyak dan kompleks.
Dengan begitu, BPLH harus melakukan sosialisasi atau memperkenalkan aturan baru
untuk kegiatan perusahaan ke industri-industri. Sosialisasi yang berjalan
hingga saat ini sebanyak 2 (dua) kali dalam setahun. Ini dirasakan kurang, mengingat
masih banyak industri
yang melanggar aturan
main. Selain itu, BPLH harus
memahami rambu-rambu baru penunjang pelaksanaan pekerjaan.
Perubahan
dari dalam organisasi yang menjadi hambatan bagi BPLH adalah kebijakan yang
berasal dari pimpinan, yang menimbulkan perbedaan dari kondisi kerja sebelumnya
karena adanya penekanan, sehingga membuat para pegawai berusaha untuk
menyesuaikan diri dengan keputusan dari pemimpin baru. Seperti yang sudah
diuraikan sebelumnya di permasalahan pertama,
yaitu mengenai arahan
yang lebih fokus kepada pencapaian Adipura, sehingga membuat pegawai mau tidak mau harus mengikuti
keputusan pimpinan. Itulah lemahnya adaptasi di birokrasi, membutuhkan waktu
yang lama, padahal reaksi yang cepat dibutuhkan untuk menghasilkan suatu
keputusan yang bersifat urgen.
Masalah ketiga adalah kepuasan kerja yang dapat
dirasakan oleh anggota organisasi yang mampu memberikan kenyamanan dan
motivasi.
Ketidaknyamanan kerja yang
dialami adalah ketika harus bekerja di luar ruangan atau kerja lapangan. Hal
ini terjadi karena kelengkapan sarana untuk melakukan praktek di lapangan
sangat terbatas, seperti:
1)
Kendaraan
operasional (mobil) hanya berjumlah 1 unit. Ini dapat mengganggu pembagian
tugas lapangan yang apabila mengharuskan para staf untuk ke tempat tujuan yang berbeda dalam waktu yang sama.
2)
Kemudian
peralatan (sampling) juga terbatas, seperti alat pengukur kadar kualitas air
dan zat-zat pencemar air sungai.
3) Begitu pun dengan perlengkapan keamanan,
seperti masker.
Tentu
saja hal tersebut di atas dapat mengganggu kenyamanan dan menyurutkan dorongan
dalam melaksanakan pekerjaan dengan baik karena sarananya terbatas.
Masalah keempat adalah mengenai tanggung jawab.
Tanggung jawab ini dapat dilihat dari organisasi yang dapat melaksanakan mandat
dan dapat menghadapi masalah yang terjadi dengan
pekerjaannya. Sekeras apapun
suatu organisasi berusaha untuk bertanggung jawab atas apa yang
dilimpahkan kepadanya, tanggung jawab tersebut akan dipandang belum
dilaksanakan secara maksimal karena beberapa hal yang terjadi. Kualitas air
sungai Cisadane cenderung menurun.
Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian Dinas Lingkungan Hidup Kota Tangerang tahun 2007 untuk menguji
kualitas air sungai Cisadane dengan menggunakan baku mutu air kelas I. Tetapi
setelah namanya berubah menjadi
Badan Pengendalian Lingkungan Hidup pada tahun 2009, baku mutu air yang digunakan adalah baku mutu air kelas II yang
kualitas airnya
di bawah kualitas
baku mutu air kelas I. Selain itu dapat dilihat dari badan usaha yang sudah
memiliki IPAL/IPLC (Instalasi Pengolahan Air Limbah/Limbah Cair) yang belum
seluruhnya optimal karena banyak ditemukan penyimpangan di lapangan.
Industri-industri banyak yang masih membuang
limbahnya secara langsung
ke sungai. Dan ironisnya, pembuangan limbah secara langsung ke sungai ini sering tidak diketahui oleh aparat BPLH bidang pengawasan dan penegakkan
hukum di lapangan.
Kerusakan lingkungan di Tangerang
saat ini dinilai semakin parah. Guna mengantisipasinya sejumlah aktivis
lingkungan di Tangerang, Banten, yang tergabung dalam Gerakan Relawan Daerah
Cinta Alam (Garda Alam) membuat gerakan 'Save Cisadane'.
Plt Koordinator Garda Alam, Romly
Revolvere di Tangerang, Selasa, mengatakan, wadah ini akan memberikan dukungan
terhadap penuntasan masalah kasus kerusakan lingkungan. Menurutnya, pihak yang
mesti bertanggung jawab dalam kerusakan lingkungan, justru lolos dari jerat
hukum.
Rencana kerja untuk pertama yakni
melakukan pendataan terhadap permasalahan lingkungan dan membuat advokasi agar
penuntasan kasus bisa selesai dan sanksi sesuai aturan. Kemudian, mengajak
masyarakat dan elemen lainnya bergabung sebab wadah ini terbuka karena misinya
untuk mewujudkan keadilan ekologis di Tangerang.
Kita juga mengajak Pemerintah Daerah
untuk bersinergi terhadap pihak yang melakukan kerusakan lingkungan
Adapun elemen yang sudah bergabung
yakni Sarekat Hijau Indonesia, Gerapeli, GMNI Tangerang, HMI Tangerang,
Himaputra, Himatani, Wahana Hijau Fortuna (WHF), Himauntika, Ranita UIN Jakarta
dan Korps Tangsel. Gerakan 'Save Cisadane' muncul setelah adanya kasus
pencemaran lingkungan oleh dua pabrik di Kota Tangerang.
Kedua pabrik tersebut membuang limbah
ke sungai cisadane tanpa dilakukan pengolahan melalui IPAL dan diketahui secara
langsung Wali Kota Tangerang, Arief R Wismansyah. Pemkot Tangerang pun
melaporkan temuan tersebut kepada kepolisian, Kementerian Lingkungan Hidup dan
kejaksaan untuk diberikan sanksi sesuai aturan. Pemerintah kota Tangerang akan menuutup salurannya agar tidak membuang
lagi limbah ke cisadane
Sungai Cisadane sudah tercemar limbah
Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cipeucang, Tangerang Selatan.
Data ini terungkap lewat riset yang
dilakukan oleh kelompok peduli lingkungan, Yayasan Peduli Lingkungan Hidup
(YAPELH).
Dari hasil investigasi di lapangan,
kami menemukan fakta bahwa sumber sampah yang selama ini mengambang dan
mencemari arus sungai Cisadane itu berasal dari TPA Cipeucang," terang
Uyus Setia Bakti selaku Direktur YAPELH.
TPA Cipeucang terletak di Jalan
Kavling Nambo, Serpong, Tangsel. Daya tampung sampahnya diduga sudah mencapai
sekira 880 ton per hari. Namun, sarana dan fasilitas pengolahan sampah tidak
layak ramah lingkungan hingga membuat air lindi, yakni cairan yang merembes ke
bawah dari tumpukan sampah, mengalir ke Sungai Cisadane.
Pengelolaan air di TPA Cipeucang juga
tidak maksimal. Banyak ditemukan air lindi dari TPA itu langsung mengalir ke
Sungai Cisadane, tanpa melalui proses Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).
TPA Cipeucang hanya berjarak 20-30
meter dari garis empadan sungai tanpa adan pembatas. Kondisi demikian, kata
Uyus, menjadi pemicu utama timbunan sampah tergerus aliran air dan membawanya
mengotori Sungai Cisadane saat hujan turun.
Atas dasar itu, kami menganggap
selama ini Pemkot Tangsel telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun
2008 Tentang Pengelolaan Sampah, serta UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang
Lingkungan Hidup
Menurut dia, sebelum melakukan
pelaporan kepada Kejari Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, pihaknya sudah
menyampaikan klarifikasi terlebih dahulu kepada Dinas Lingkungan Hidup (DLH)
Kota Tangerang Selatan atas pencemaran sungai Cisadane.
Beberapa bukti berupa foto, rekaman
video yang diperoleh berdasarkan penelusuran menggunakan perahu di sepanjang
sungai turut juga dicantumkan. Hasilnya menunjukkan, bahwa timbunan sampah yang
menyumbat aliran sungai ternyata memang berasal dari gundukan sampah di TPA
Cipeucang.
Salah satu lembaga seperti YAPELH
melaporkan Wali Kota Tangsel Airin Rachmi Diany beserta dinas terkait ke Kejari
Tigaraksa.
Karena di khawatirkan dampak terburuk
dari pengelolaan TPA Cipeucang saat ini bisa menjelma seperti kejadian luruhnya
TPA Leuwigajah di Bandung tahun 2005 silam, yang mengubur habis ratusan rumah
di sekitarnya. Oleh karena itu kami berharap Kejari Tangerang agar dapat
menindaklanjuti persoalan ini dengan seadil-adilnya.
Aparat Dinas Lingkungan Hidup dan
Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang, Banten, telah menerima pengaduan
sebanyak 49 kasus pencemaran air dan udara yang dilakukan oleh pihak swasta.
Dari pemerintah Kabupaten Tangerang Bidang
Pengendalian, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan DLHK Kabupaten Tangerang akan
mencoba menyelesaikan masalah tersebut.
Pemerintah Kabupaten Tangerang
melalui Dinas terkait telah membawa sampel air ke laboratorium untuk diteliti
setelah dilakukan peninjauan ke areal terdampak.
Pengaduan itu beragam seperti melalui
surat, secara lisan, aplikasi pelaporan serta sistem pengendalian lingkungan
tapi sebagian sudah diselesaikan.
Namun ada juga perusahaan yang diduga
membuang limbah cair mendapatkan pembinaan dan monitoring berkala.
Ada perusahaan mencemari lingkungan
yang ditangani oleh Polda dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup di
Desa Tegal Angus, Kecamatan Teluknaga yang saat ini dalam proses hukum.
Sedangkan pengaduan pencemaran
lingkungan itu sepanjang tahun 2018 dan laporan serupa menurun tahun 2017
sebanyak 50 kasus.
Pengaduan warga dan pegiat lingkungan
itu berupa pencemaran udara, air, tanah oleh logam dan bahan kimia lainnya.
Penyebab pencemaran itu beragam ada
dari industri, peternakan berupa bau dan suara binatang serta lainnya.
Demikian dari 49 laporan tersebut ada
satu yang dibawa ke ranah hukum dan diajukan ke meja hijau sesuai UU No.32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pihaknya berusaha untuk
menindaklanjuti dengan cara pertemuan dengan pihak terlapor secara kekeluargaan
sebagai bukti dari pelayanan aparat kepada warga.
Meski begitu, katanya, Bupati
Tangerang, Ahmed Zaki Iskandar, mengapresiasi perusahaan yang tidak mencemari
lingkungan dan mampu menyerap tenaga kerja lokal demi mengurangi tingkat
pengangguran.
ANALISA :
Dari data yang di dapatkan dan
beberapa berita di media, di ketahaui bahwa pencemaran sungai Cisadene semakin
lama semakin memburuk, hal ini diakibatkan oleh
banyaknya pencemaran lingkungan baik oleh pihak swasta maupun oleh pihak
pemerintah setempat melalui TPA Cipeucang.
Namun beda kasus dengan di Kabupaten
Tangerang yang sebagian kasusnya telah masuh ke ranah hokum.
Apabila hal ini terus terjadi maka
beberapa tindakan pidana dan perdata dapat digunakan dalam menangani kasus ini
seusuai Undang Undang No. 32 Tahun 2009.
Hak atas lingkungan yang sehat dan
baik tertuang dalam Pasal 28H UUD 1945, Pasal 9 Ayat (3) UU No 39/1999 tentang
Hak Asasi Manusia dan Pasal 65 Ayat (1) UU No 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sehingga, negara (pemerintah) dan pelaku usaha
wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak tersebut.
Masyarakat atau lembaga lingkungan
hidup berhak memperjuangkan hak tersebut. Bahkan, Pasal 66 UU No 32/2009
menyatakan setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat perdata. Saya
berharap, ada yang menggugat karena hukum memberi ruang.
Jalur masyarakat atau lembaga
lingkungan hidup memperjuangkan hak atas lingkungan hidup terkait indikasi
pencemaran batubara, pendangkalan sungai, kerusakan kawasan hutan dan lainnya,
sambung Edra, bisa non-hukum dan hukum. Untuk jalur hukum, dapat melakukan
gugatan administrasi, perdata dan pidana.