ANALISA KASUS Main Hakim Sendiri Kasus : Pembakaran Begal Di Pondok Aren Tangerang 24 Februari 2015
ANALISA
KASUS
“Main
Hakim Sendiri”
Kasus
:
Pembakaran
Begal Di Pondok Aren Tangerang
24
Februari 2015
Disusun Oleh :
H. Galih Gumelar
NIM : 1807020008
MAGISTER
ILMU HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG
2019
Kata Pengantar
Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai
pada waktu yang telah ditentukan. guna memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Pidana dan
HAM di semester III ini. Dengan Judul “Analisa Kasus Main Hakim Sendiri”
Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada berbagai pihak
yang turut berperan untuk terselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari bahwa
masih terdapat banyak kekurangan, sehingga masih jauh dari kesempurnaan, dengan
sikap terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah Analisa Kasus ini dapat memberikan
manfaat dan literature pengetahuan kita tentang keadilan sosial dalam penegakan
hukum lingkungan di Indonesia.
Tangerang, 25 Desember 2019
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar…………………………………………………………………2
Daftar
Isi……………………………………………………………………….3
BAB
I Pendahuluan……………………………………………………………4
BAB
II Pembahasan…………………………………………………………...6
BAB III Kesimpulan dan Saran ………………………………………………18
BAB III Kesimpulan dan Saran ………………………………………………18
Daftar
Pustaka ………………………………………………………………...19
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Permasalahan
main hakim sendiri atau eigenrichting sudah sejak lama menjadi persoalan yang
tak kunjung usai dan sering terjadi di dalam hukum Indonesia, sesuaidalam pasal
1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa
“Negara Indonesia adalah negara hukum,” sudah seharusnya praktik main hakim
sendiri (eigenrichting) di Indonesia harus mendapat tindakan tegas karena
realitanya hal tersebut masih sering ditemui di negara yang berdasarkan atas
hukum ini. Menghakimi sendiri para pelaku tindak pidana bukanlah merupakan cara
yang tepat,melainkan merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia dan telah
memberikan kontribusi negatif terhadap proses penegakan hukum.Masyarakat lupa
dan atau tidak tahu bahwa tidak hanya mereka yang memiliki hak asasi, para
pelaku tindak pidanapun memiliki hak asasi yaitu hak untuk mendapatkan
perlindungan hukum di muka pengadilan, tidak boleh dilupakan penderitaan yang
dialami para pelaku tindak pidana karena walau bagaimanapun, mereka merupakan
bagian dari umat manusia.
B.
Rumusan
Masalah
1.) Apa itu Main Hakim Sendiri ?
2.) Apa Saja Hal yang Menjadi Pemicu Timbulnya
Main Hakim Sendiri ?
3.) Apa Saja Dampak Main Hakim Sendiri ?
4.) Bagaimana Cara Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri ?
5.) Apa Saja Pertanyaan
yang Timbul dari Masayarakat ?
6.) Apa Salah Satu Contoh Kasus Main Hakim Sendiri
?
C.
Tujuan Masalah
1.) Mengetahui Apa
itu Main Hakim Sendiri
2.) Mengetahui Apa Saja Hal yang Menjadi Pemicu
Timbulnya Main Hakim Sendiri
3.) Mengetahui Apa
Saja Dampak
Main Hakim Sendiri
4.) Mengetahui Bagaimana Cara Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri
5.) Membahas Apa Saja Pertanyaan
yang Timbul dari Masayarakat
6.) Menganalisa Salah Satu Contoh Kasus Main Hakim
Sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Main
Hakim Sendiri
Main hakim
sendiri, seolah akhir-akhir ini telinga kita sudah seringkali mendengar hal
tersebut. Kebiasaan main hakim sendiri telah ada sejak dahulu, dan berkembang
semenjak adanya gerakan reformasi. Di mana semua orang memiliki keberanian dan
kebebasan dalam berbicara, bertindak, dan sebagainya, yang kemudian menumbuhkan
“kekuasaan". Kekuasaan tersebut biasanya diperankan secara berkelompok.
Satu orang mempengaruhi orang lain hingga banyak orang yang terpengaruh untuk
melakukan main hakim sendiri. Hal ini mencerminkan bahwa masyarakat kita masih
memiliki “mental kelompok”, hanya berani bertindak bila dilakukan berkelompok.
Tindakan main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan
suatu tindak pidana, yaitu perbuatan sewenang-wenang terhadap seseorang yang
dianggap melakukan suatu kejahatan, main hakim sendiri merupakan tindakan yang
melanggar hak asasi manusia hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang HAM bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum tidak terkecuali pelaku kejahatan
korban tindakan main hakim sendiri. Terjadinya kasus tindakan main hakim sendiri
merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia, banyaknya kasus tindakan main
hakim sendiri yang hingga menyebabkan hilangnya nyawa hingga saat ini masih
banyak pelaku yang tidak tersentuh oleh hukum.
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
bagaimana ketentuan hukum tentang tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku
tindak pidana di Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum yang dapat
diberikan terhadap pelaku tindak pidana korban tindakan main hakim sendiri.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini adalah secara
yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan
norma-norma hukum yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan
perbuatan yang pantas ditunjang dengan alat pengumpul data berupa observasi
dalam bentuk catatan lapangan atau catatan berkala. Ketentuan hukum mengenai
tindakan main hakim sendiri di Indonesia pada dasarnya tidak memuat ketentuan
yang secara tegas mengatur mengenai tindakan main hakim sendiri.
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai tindakan main
hakim sendiri diantaranya termuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
serta Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia walaupun
dalam ketentuan keduanya unsur-unsur yang termuat mengenai tindakan main hakim
sendiri tidak dijelaskan secara spesifik, namun bila ditelaah lebih lanjut
beberapa rumusan yang termuat di dalamnya dapat dikategorikan sebagai perbuatan
main hakim sendiri. Upaya perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap
pelaku tindak pidana korban tindakan main hakim sendiri dengan tetap
mendapatkan perlakuan yang sama dihadapan hukum untuk melaporkan tindakan main
hakim sendiri terhadap aparat penegak hukum sesuai dengan yang termuat di dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
B.
Hal yang Menjadi Pemicu Timbulnya
Main Hakim Sendiri
Pertama, adanya keretakan hubungan
antara penjahat atau yang diduga penjahat dan korban atau pihak yang merasa
dirugikan, yang tidak segera dipecahkan masalahnya. Korban atau pihak yang merasa
dirugikan ini merasa hak-haknya diinjak-injak bahkan dihancurkan, maka pihak
yang merasa dirugikan ini ingin mempertahankan kepentingan dan hak-haknya
secara langsung.
Kedua, munculnya main hakim sendiri
adalah adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap perangkat hukum. Masyarakat
menilai hukuman yang diberikan oleh aparat penegak hukum tidaklah adil dan
setimpal dengan apa yang diperbuat si pelaku kejahatan.
Ketiga, adanya sifat spontan dari
sekelompok masyarakat yang bersumber dari faktor tekanan sosial. Banyaknya
pengangguran dan kondisi ekonomi yang sulit membuat masyarakat menjadi frustasi
dan tidak berpikiran panjang. Tindakan main hakim sendiri inilah yang menjadi
“lahan” pelampiasan dari tekanan jiwa tersebut.
Keempat, masyarakat tidak mengetahui
bagaimana cara melaporkan tindak kejahatan. Tidak adanya nomor kontak polisi
yang mudah diketahui masyarakat dan juga jarak antara tempat kejadian dengan
kantor polisi yang jauh. Hal ini menyebabkan polisi datang setelah penjahat
atau yang diduga penjahat ini sudah habis dihakimi massa.
Kelima, tidak adanya pelerai atau
pihak yang berusaha menghalangi tindakan main hakim sendiri tersebut. Di zaman
yang berteknologi tinggi ini malah banyak masyarakat sibuk mengabadikan momen
main hakim sendiri dengan ponsel genggamnya, bukan menjadi penengah.
Tindakan main hakim sendiri (eigenrechting) dapat
dilakukan oleh perseorangan, masyarakat, oknum pejabat sipil, atau oknum
penegak hukum. Sebelum tumbangnya Orde Baru, tindakan tersebut lebih didominasi
oleh oknum aparat terhadap lawan politik negara.
Menjelang akhir Orde Baru, muncul fenomena tindakan main
hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat sipil, seperti dipicu oleh
“kebijakan” aparat melalui “penembakan misterius” (petrus), hingga pembunuhan
antar preman, pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh tukang “santet” (Nur
Ismanto, 2000).
Seringkali kita mendengar berita atau bahkan melihat
langsung pelaku kejahatan yang ketahuan oleh warga sekitar langsung saja
diberikan “bogem mentah”. Seharusnya pelaku kejahatan tersebut ditangkap dan
diserahkan ke pihak berwajib untuk diproses secara hukum, tetapi malah langsung
ditangani sendiri oleh masyarakat sekitar. Padahal tindakan tersebut malah
menimbulkan masalah baru.
Pelaku main hakim sendiri seringkali tidak diproses secara
hukum. Hal ini disebabkan karena tidak ada yang melaporkan tindakan tersebut.
Apalagi bila korban dari main hakim sendiri ini memang benar adalah pelaku
kejahatan. Korban tersebut tidak akan melaporkan masalah ini ke pihak berwajib,
karena itu sama saja dengan melaporkan kejahatannya sendiri.
Negara Indonesia merupakan negara hukum, di mana semuanya
ada yang mengatur. Tetapi seolah masyarakatnya enggan menyelesaikan masalah
dengan hukum. Penjatuhan hukuman atas kesalahan adalah monopoli negara, bukan
perseorangan. Sehingga masyarakat tidak berhak untuk menghakimi pelaku
kejahatan.
C.
Dampak Main Hakim Sendiri
Sebesar dan
separah apapun sebuah kejahatan, sebelum dijatuhi hukuman, terduga pelaku bakal
melewati serangkaian sidang dan gelar perkara yang fungsinya buat memastikan
apakah benar dia bersalah atau tidak.
Hal ini lah
yang tidak akan ditemui waktu seseorang dihakimi langsung oleh warga. Karena
dasarnya cuma emosi, maka tidak ada proses untuk memastikan kejahatan yang
dilakukan. Alhasil, bukan tidak mungkin orang yang sebenarnya yang tidak
bersalah ikut jadi korban.
2.
Memberi Contoh yang Buruk Buat Anak-Anak
Waktu ada sinetron atau tayangan
yang berbau kekerasan, semua orang sepakat menolak. Tapi, giliran ada kasus
kejahatan, masih banyak saja orang yang main hakim sendiri.
Padahal, menyaksikan langsung
sebuah tindakan kekerasan itu justru lebih berbahaya dibanding sekedar menonton
film atau bermain game buat anak-anak. Apalagi kalau ternyata, justru orangtua
mereka sendiri yang melakukannya.
3.
Melawan Hukum
Menghakimi
penjahat itu sebenarnya termasuk tindakan yang melanggar hukum. Apalagi kalau
belum jelas apakah benar orang itu yang melakukan kesalahan. Bisa-bisa, nanti
malah kamu jadi ikutan kena kasus tindak kekerasan
4.
Memicu Kejahatan Lainnya
Menyelesaikan suatu permasalahan
dengan emosi hampir selalu nggak bisa memberi solusi yang benar-benar bagus.
begitu juga dengan budaya main hakim sendiri ini.
Percaya nggak percaya, kebiasaan
kayak gini bisa bikin kekerasan jadi hal yang dianggap wajar. Efeknya, makin
banyak orang yang mudah melakukan kekerasan dan bukan nggak mungkin tindak
kejahatan juga bertambah.
5.
Merugikan Orang Lain
Last but not least main hakim sendiri ini bakal banyak menimbulkan kerugian sampingan
buat banyak orang. Hal paling sederhananya adalah dengan menimbulkan kemacetan
dan kerusakan di area kejadian. Yang paling parah adalah kalau sampai korban
ternyata salah sasaran. Keluarga korban pasti bakal merasa sangat dirugikan
secara moral dan materi.
D.
Mencegah Tindakan Main Hakim Sendiri
Tindakan main hakim sendiri tidak
boleh terjadi di Indonesia yang katanya dikenal sebagai masyarakat yang beradab
dan bermoral. Perlu ada kesadaran baik dari masyarakat maupun pemerintah,
terutama aparat penegak hukum. Apalagi dengan adanya Instruksi
Presiden Nomor 2 tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan
Dalam Negeri Tahun 2013, pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah harus
lebih tanggap. untuk mengantisipasi masalah tersebut, harus ada kerjasama
antara tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat pemerintah, kepolisian,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan lainnya. “Tokoh-tokoh masyarakat tersebut harus
mensosialisasikan kepada masyarakat bahwa tindakan kekerasan dalam hal apapun
tidak diperbolehkan. Tindakan dalam menangani sesuatu tetap tidak
diperbolehkan, selain itu perlu ada keseragaman langkah dengan masyarakat
antara lain:
1. Pertama,
pererat komunikasi antara penegak hukum dengan masyarakat. Beri kesadaran akan
pentingnya penegak hukum bagi keamanan masyarakat. Intensitas komunikasi antara
penegak hukum dengan masyarakat akan meningkatkan citra dan kepercayaan
masyarakat terhadap penegak hukum di negeri ini
2.
Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan. Penegakan hukum yang jelas
atau sesuai dengan standar hukum yang berlaku akan memberikan kepuasan kepada
masyarakat terhadap pelayanan yang diberikan para penegak hukum. Dalam hal
kasus penyerangan lapas Cebongan, transparansi sudah dilakukan dan hal tersebut
mendapatkan apresiasi dari masyarakat. Semoga ini bisa menjadi pemicu agar
masyarakat tidak lagi menyelesaikan segala persoalan dengan main hakim sendiri
Masih terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak.
Masih terjadinya sejumlah aksi kekerasan diatas, seharusnya dapat dicegah apabila tingkat kesadaran hukum masyarakat tinggi yang tentu harus dibarengi dengan ketegasan aparat penegak hukum. Demikian pula ketegasan pemimpin, yang akan membuat nyaman petugas penegak hukum dalam bertindak.
Agar hukum dipercaya masyarakat, pemerintah dituntut serius
membangun dan menguatkan sistem hukum yang berfungsi sesuai treknya; tidak ada
diskriminasi terhadap siapa pun yang berurusan dengan hukum. Kita menunggu
komitmen penguasa dan elite untuk bertindak konkret, sedikit bicara banyak
kerja. Rakyat berharap hukum bukan sekadar produk politik untuk melindungi
kepentingan tertentu, melainkan yang berkeadilan, melindungi semua orang dan golongan
tanpa diskriminasi.
Kita tentunya tidak berharap negara yang kita cintai
Indonesia hancur begitu saja, kita tentunya tidak mengharapkan negeri ini
berada di ujung kehancuran, dimana hukum sudah tidak dianggap, hukum rimba
berlaku dan merajalela, yang kuat menindas yang lemah, sehingga akhirnya kita
menjadi homo homini lupus (manusia serigala) yang saling memangsa antara yang
satu dengan yang lainnya.
Tapi satu yg hal pasti, kalau "kita semua" tidak
ada yg melakukan sesuatu apapun itu, baik itu dengan cara halus atau kasar dan
sadar sendiri atau disadari oleh orang lain, maka tinggal tunggu waktu negara
ini hancur dgn sendirinya. ibarat kaki borokan tapi di diamkan dan dibiarkan
saja, lama-lama bisa diamputasi atau bahkan bisa menyebabkan kematian tragis.
Sudah saatnya semua elemen berkomitmen untuk menyelamatkan negeri ini dari
ujung kehancuran.
E. Pertanyaan yang Timbul
dari Masayarakat
Apakah ada peraturan yang mengatur tentang perbuatan
main hakim sendiri ? Bagaimana nasib korban
main hakim sendiri apabila ingin mengadu ?
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa
Edisi Keempat (2008), main hakim sendiri diartikan sebagai
menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan
dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb).
Peraturan perundang-undangan kita, khususnya
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) belum mengatur secara khusus mengenai main hakim sendiri. Akan tetapi,
bukan berarti KUHP tidak dapat diterapkan sama sekali jika terjadi perbuatan
main hakim sendiri.
Dalam hal terjadinya tindakan main hakim
sendiri, bagi korban tindakan tersebut dapat melaporkan kepada pihak yang
berwenang antara lain atas dasar ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan
Dalam
penjelasan Pasal 351 KUHP oleh R. Sugandhi, penganiayaan diartikan sebagai
perbuatan dengan sengaja yang menimbulkan rasa tidak enak, rasa sakit atau
luka.
Hal
ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan terhadap
orang yang mengakibatkan luka atau cidera.
b.
Pasal 170 KUHP tentang Kekerasan
Dalam
penjelasan Pasal 170 KUHP oleh R. Sugandhi, kekerasan terhadap orang maupun
barang yang dilakukan secara bersama-sama, yang dilakukan di muka umum seperti
perusakan terhadap barang, penganiayaan terhadap orang atau hewan, melemparkan
batu kepada orang atau rumah, atau membuang-buang barang sehingga berserakan.
Hal
ini dapat diancamkan atas tindakan main hakim sendiri yang dilakukan di depan
umum.
c.
Pasal 406 KUHP tentang Perusakan
Dalam
penjelasan Pasal 406 KUHP oleh R. Sugandhi, perusakan yang dimaksud
mengakibatkan barang tersebut rusak, hancur sehingga tidak dapat dipakai lagi
atau hilang dengan melawan hukum.
Mengapa Main Hakim Sendiri ?
Mengapa begitu mudahnya masyarakat melakukan tindakan main
hakim sendiri, Alasan mengapa masyarakat lebih sering main hakim sendiri saat
ini timbul karena berbagai faktor:
1.Faktor pertama adalah persoalan
psikologis yang saat ini terjadi pada masyarakat. Alasan psikologis bisa jadi
ditimbulkan karena tekanan ekonomi yang serba sulit yang melahirkan rasa
frustasi. Hidup dalam keadaan tertekan ditambah lagi adanya kesenjangan sosial
antara kaya dan miskin yang lebar menimbulkan gesekan sosial.
2.Faktor kedua adalah
ketidakpercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum. Saat ini sedang
terjadi kondisi dimana tatanan sistem hukum yang dijalankan oleh pemerintah
dalam arti luas tidak lagi dipercaya oleh masyarakat. Kondisi ini memiliki
ciri-ciri dimana hukum tidak lagi dipandang sebagaihuman institutionyang
dapat memberikan rasa perlindungan hak-haknya sebagai warga negara. Oleh karena
itu, harus segera dilakukan langkah-langkah untuk melakukan pengembalian
kepercayaan tersebut.
3.Faktor ketiga, komunikasi
masyarakat dan aparat penegak hukum yang kurang atau belum tersosialisasikan
dengan baik sehingga pada saat membutuhkan pertolongan hukum, masyarakat
mengalami kebingungan.
Setiap kali terjadi tindakan main hakim sendiri oleh warga,
polisi adalah aparat penegak hukum yang paling banyak direpotkan. Dalam banyak
kejadian, warga baru melaporkan kejadiannya setelah korban babak belur bahkan
tewas di tangan mereka. Amuk warga kembali mengingatkan. Masyarakat memelurkan
kepastian penegakan hukum oleh aparat.
Banyaknya kasus kekerasan dan main hakim sendiri menunjukkan
lemahnya penyelesaian masalah oleh pemerintah. Maraknya kasus kekerasan juga
semakin menurunkan kepercayaan publik dalam konteks hukum dan keamanan
nasional. Pemerintah dan masyarakat diminta tak membiarkan pola main hakim
sendiri terus berlanjut, Karena jika terus akan dibiarkan maka akan berlaku
hukum rimba, dimana yang kuat memangsa yang lemah.
Sikap main hakim sendiri berkorelasi dengan rendahnya mutu
penegakan hukum. Masyarakat stres dan frustrasi: melihat kasus pencurian
menjadi biasa, tindak kekerasan meningkat, dan belakangan kekerasan dan
kejahatan seksual, terutama terhadap anak-anak di bawah umur sudah dalam
kondisi darurat. Bagaimana masyarakat tidak resah, marah, dan frustrasi, karena
pemerintah dan aparat penegak hukum seolah-olah tidak mampu menyentuh kejahatan-kejahatan
seperti itu.
Hukum cenderung berpihak kepada penguasa, elite, dan
kelompok tertentu, terhegemoni oleh lingkaran mafia. Dunia hukum kita mencatat
sejarah kelam dalam kasus nenek Minah, pencuri tiga biji kakao di Banyumas;
empat keluarga pencuri kapuk randu di Batang; remaja AAL pencuri sandal di
Palu; atau Basar Suyanto dan Kholil yang mencuri semangka di Kediri. Di sisi
lain, ketika hukum diharapkan membawa efek jera, 60-an persen vonis ringan
justru menjadikan korupsi sebagai gaya hidup.
Hukum menampakan wajah kapitalis. Kartel impor bahan pangan
yang menyengsarakan masyarakat seperti tak terjangkau. Warga tak berkutik
menghadapi penggusuran tanah untuk lahan industri. Perselisihan buruh berakhir
dengan kekerasan. Di sisi lain, penguasa, pejabat, dan elite serta anak-cucunya
seakan-akan kebal hukum. Satu dekade reformasi tak mengubah keadaan, bahkan
makin parah. Hukum hanya menjadi alat kepentingan mempertahankan kekuasaan dan
penguasaan modal.
Apakah memang masyarakat terlalu toleran terhadap tindakan
diskriminatif penegak hukum, sehingga terjadi semacam pembiaran? Kita
seolah-olah mahfum akan kentalnya hukum transaksional untuk mendapat
keistimewaan, kebebasan, dan kekebalan. Krisis kepercayaan kepada hukum pun
akhirnya tak terhindarkan. Lalu bagaimana jika masyarakat memilih mencari jalan
keluar sendiri untuk mencari keadilan? Kita tentu tidak ingin tragedi-tragedi
pada awal reformasi terulang kembali.
Kalangan pengamat menilai, tindakan main hakim sendiri
disebabkan oleh banyak hal. Diantaranya adalah perasaan tidak percaya
masyarakat terhadap ketegasan aparat dalam menegakan hukum. Banyaknya pelaku
kejahatan yang lolos dari jerat hukum dan sebagainya. Lemahnya penegakan hukum
terlihat dari banyaknya kasus main hakim sendiri.
Tak bisa dipungkiri bahwa apa yang terjadi di masyarakat
saat ini adalah cerminan dari hippermoralitas, hippermoralitas merupakan suatu
keadaan atau situasi dimana anggota masyarakat tidak bisa menentukan mana yang
baik atau yang buruk. “Yang jelek dianggap benar, kadang yang benar dianggap
jelek. Semua serba abu-abu. Hal itu membuat masyarakat yang menghakimi pencuri,
pencopet atau penjambret menjadi seolah-olah merupakan tindakan yang benar.
“Padahal memukul hingga luka parah bahkan meninggal secara hukum dan moral tetap
saja salah. Karena sama saja kita tidak jauh berbeda dengan mereka.
Selain itu formalisme tersebut terjadi juga karena dampak
reformasi yang sudah berlebihan. “Dimana orang menjadi bebas melakukan sesuatu
tanpa ada batasannya, padahal kebebasan itu tidak bisa sebebas-bebasnya tetapi
ada batasannya. Aparat pemerintah yang semakin tidak berwibawa di kalangan
masyarakat. Bahkan aturan yang ada menjadi tidak berfungsi.
F.
Contoh Kasus Main Hakim Sendiri
Contoh kasus 1:
Pembakaran begal yang dilakukan di daerah Pondok Aren,
Tangerang pada tanggal 24 Februari 2015. Berawal dari sekawanan begal yang
menghalangi sebuah motor, namun aksi tersebut gagal dan membuat sekawanan begal
tersebut melarikan diri dan meninggalkan satu orang temannya.
Seorang pembegal yang ditinggalkan inilah yang menjadi
amukan warga. Pembegal diberikan “bogem mentah” dan ditelanjangi sebelum
akhirnya dibakar hidup-hidup.
Kasus lain dari main hakim sendiri yang sedang hangat
dibicarakan adalah pembakaran seorang pria berinisial MA yang diduga mencuri
amplifier mushola di daerah Babelan, Kabupaten Bekasi. Terlepas dari benar atau
tidaknya MA mencuri, hal ini sangat disayangkan apalagi sampai membakar
hidup-hidup seseorang yang masih diduga pencuri.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bagi siapa saja yang
melakukan main hakim sendiri dikenai Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, Pasal
406 KUHP tentang perusakan, dan Pasal 170 KUHP tentang kekerasan.
Tindakan main hakim sendiri dapat diredam dengan cara
menghilangkan faktor-faktor yang menjadi pemicunya,antara lain:
Pertama, harus adanya tindakan tegas dari
aparat penegak hukum dalam menangani sebuah kasus kejahatan dan bertindak
adil.
Kedua, dalam menangani kasus harus
dilakukan dengan transparan agar timbulnya kepercayaan masyarakat.
Ketiga, masyarakat juga harus diberikan
kesadaran bahwa tindakan main hakim sendiri bukanlah tindakan yang
menyelesaikan masalah, tetapi malah menambah masalah baru.
Keempat, tokoh agama dan juga tokoh
masyarakat dapat memberikan tekanan pemahaman agama kepada jemaahnya tentang
larangan main hakim sendiri. Apalagi tindakan main hakim sendiri hingga
menghilangkan nyawa orang lain tidak dibenarkan pada agama mana pun. Pemahaman
yang diberikan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat biasanya dinilai lebih
mudah dipahami dan diikuti oleh masyarakat.
Cara lain untuk meredam tindakan main hakim sendiri adalah
mengurangi pengangguran dan meningkatkan standar hidup masyarakat. Dan yang
terpenting adalah adanya komunikasi dan hubungan yang harmonis antara
masyarakat dengan penegak hukum, khususnya polisi. Komunikasi dan hubungan
harmonis tersebut akan menimbulkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap aparat
penegak hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat kita simpulkan bahwa
tindakan main hakim sendiri dapat dipicu oleh tekanan psikologis masyarakat,
maka tindakan main hakim sendiri yang menjadi "lahan" pelampiasannya.
Memang faktor psikologis bukanlah satu-satunya pemicu
terjadinya tindakan main hakim sendiri. Sebab, ketidakpercayaan masyarakat
kepada penegak hukum untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya menurut
masyarakat juga merupakan salah satu faktor pemicu.
Penyebab lain adalah penegak hukum dinilai terlalu lamban
dalam memproses suatu tindak kejahatan. Seringkali polisi tiba di TKP setelah
korban meregang nyawa. Hal-hal tersebut dapat diredam dengan cara kerjasama
yang baik antara masyarakat dan aparat penegak hukum, khususnya polisi.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Main hakim
sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban
dan/atau keluarga korban kepada pembuat korban. Guna menghentikan balas dendam
yang turun temurun tersebut maka kepala kelompok/komune/masyarakat sederhana
yang anggota kelompoknya tersebut jahat mengumpulkan harta benda milik anggota
masyarakat untuk memperbaiki atau mengganti rugi kerusakan atau penderitaan
anggota kelompok masyarakat yang menjadi korban. Harta benda sebagai ganti
kerugian oleh masyarakat yang berbuat jahat disebut restitusi digunakan untuk
kepentingan korban dan/atau keluarganya serta untuk kepentingan masyarakat atau
kepala kelompok.
B.
Saran
1. Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tindakan Main Hakim Sendiri,
sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan
masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan tindakan kejahatan
Main Hakim Sendiri kepada Petugas Kepolisian, jika terjadi kasus tersebut.
2. Untuk menghindari rasa takut agar segera masyarakat untuk melaporkan kasus
Main Hakim Sendiri, kepada Petugas Kepolisian, dan hendaknya pihak Kepolisian
memberikan perlindungan serta jaminan kepada si pelapor.
3. Dalam rangka memperlancar proses penyidikan terutama penahanan para
tersangka, hendaknya kepolisian memperhatikan pengadaan dan perbaikan sarana
dan prasarana penunjang seperti perluasan ruang tanahan sehingga dapat
menampung tahanan dalam jumlah yang besar.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Sukwan. 2012. Fonemena Main Hakim Sendiri. Berita
Indosiar Live Streaming.
http://www.indosiar.com/ragam/fenomena-main-hakim-sendiri_40966.html (diakses pada tanggal 20 Desember 2019).
Simanjuntak, Agustinus. 2009. Kejahatan dan penanggulangannya. artikel http://www.glorianet.org/index.php/augus/107--kejahatan. (diakses pada tanggal 20 Desember 2019).
Rahman Hakim , Arfah. 2006. Tinjauan Yuridis Sosiologis Terhadap Kasus Main HakimSendiri.TERHADAP_KASUS_MAIN_HAKIM_SENDIRI_(Pembunuhan_Oleh_Massa_Terhadap_Pelaku_Curanmor_Di_Wilayah_Hukum_Polsek_Bululawang_Dan_Polsek_Singosari)
(diakses pada tanggal 20 Desember 2019)
http://www.umy.ac.id/kasus-main-hakim-sendiri-cermin-hippermoralitas-masyarakat.html (diakses pada tanggal 20 Desember 2019).
http://hqsa.blogspot.com/2012/04/contoh-makalah-kriminologi.html
(diakses pada tanggal 20 Desember 2019)
(diakses pada tanggal 20 Desember 2019)