Makalah Analisa Kasus Main Hakim Sendiri : Mario Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang
ANALISA
KASUS
“PELAKU
PERSEKUSI DAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI”
Kasus
:
Mario
Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang
Disusun
Oleh :
H. Galih Gumelar
NIM : 1807020008
MAGISTER ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM SYEKH
YUSUF TANGERANG
2019
Kata Pengantar
Puji Syukur kita
panjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik dan selesai pada waktu yang telah ditentukan. guna
memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Pidana dan HAM di semester III ini. Dengan
Judul “PELAKU PERSEKUSI DAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI” Dengan Contoh Kasus : Mario
Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang.
Rasa terima kasih yang
tulus penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang turut berperan untuk
terselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak
kekurangan, sehingga masih jauh dari kesempurnaan, dengan sikap terbuka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah Analisa Kasus ini dapat memberikan manfaat dan literature
pengetahuan kita tentang keadilan sosial dalam penegakan hukum lingkungan di
Indonesia.
Tangerang, 25 Desember
2019
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar…………………………………………………………………2
Daftar
Isi……………………………………………………………………….3
BAB I
Pendahuluan……………………………………………………………4
BAB II
Pembahasan…………………………………………………………...11
BAB III Kesimpulan dan Saran ………………………………………………19
BAB III Kesimpulan dan Saran ………………………………………………19
Daftar Pustaka
………………………………………………………………...20
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pendahulan
Akhir-akhir ini kita terhentak dengan pemberitaan di
media, baik media online maupun konvensional, yaitu tentang maraknya tindakan
persekusi, Dalam bahasa Inggris, persekusi disebut dengan persecution yang
memiliki makna “hostility and ill-treatment, especially because of race or
political or religious beliefs”. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa
tindakan persekusi dimulai dengan tindakan mengidentifikasi, mencari dan
mengeksekusi pelaku yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan alasan di
atas, atau dengan kata lain, bahwa persekusi adalah tindakan untuk menghakimi
tanpa melalui proses/prosedur yang seharusnya, yang dalam hukum pidana disebut
dengan tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). Harus diakui bahwa antara
persekusi dan tindakan main hakim sendiri, memiliki dimensi yang berbeda, namun
ketika dilihat dari cara yang dilakukan penulis meyakini bahwa tindakan
persekusi merupakan tindakan main hakim sendiri ataupun kalou tidak, persekusi
merupakan bentuk baru dari main hakim sendiri (eingerechting). Dengan demikian,
baik tindakan persekusi dan tindakan main hakim sendiri merupakan tindak
pidana, sehingga setiap pelaku perbuatan tersebut sudah pasti dapat diancam
dengan saksi pidana.
Sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945), dengan
jelas disebutkan bahwa “Indonesia
adalah Negara Hukum”. Jika ketentuan tersebut diinterpretasi secara gramatikal, maka terdapat konsekuensi dari sebuah
Negara hukum, yaitu bahwa semua bentuk keputusan,
tindakan alat-alat perlengkapan Negara, segala sikap, tingkah laku dan
perbuatan termasuk yang dilakukan
oleh warga negara, harus memiliki
landasan hukum atau dengan kata lain,
semua harus punya legitimasi secara hukum.
Namun realita hukum pidana di masyarakat tidak semudah seperti
yang disampiakan di atas,
banyak permasalahan yang kompleks dan bermunculan, diantaranya adalah permasalahan tindak pidana yang
semakin berkembang dan bervariasi, seiring dengan
perkembangan masyarakat menuju era modern.
Dengan tumbuh dan meningkatnya masalah kejahatan,
secara tidak langsung memunculkan sebuah
anggapan dari masyarakat, bahwa aparat penegak
hukum gagal dalam menanggulangi masalah
dan dianggap lambat
dalam menjalankan tugasnya
serta adanya ketidakpuasan masyarakat dalam penagakan hukum.
Hal ini akibat proses panjang
dari sistem peradilan yang kurang mendidik, dimana seringkali terjadi
tersangka pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat, dilepas
oleh penagak hukum
dengan alasan kurang
kuatnya bukti, kalaupun kasus diproses sampai
pengadilan, pidana yang dijatuhkan tidak sesuai
dengan harapan masyarakat.
Dengan adanya anggapan yang demikian, memicu sebagian
masyarakat yang merasa keamanan,
ketentramannya terganggu dan sudah tidak mempercaya dengan aparat penegak hukum, sehingga melakukan tindakan
main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan tanpa
mengikuti proses hukum yang berlaku.
Hal tersebut dapat dilihat akhir-akhir ini banyak
berita mengenai persekusi
di Indonesia, baik di media konfensional maupun berita online. Berikut adalah contoh-contoh
tindakan persekusi yang berhasil dihimpun penulis:
Kasus yang pertama, menimpa
Mario Alvian, remaja
15 tahun warga Cipinang Muara, Jakarta Timur. Kasus tersebut
mencuat saat sebuah video persekusi tersebut diungahnya di kanal video milik perusahaan Google.LLC yaitu youtube.
Berikut isi berita yang dikutip dari http://www.bbc.com,
“… remaja bernama Putra Mario Alfian
ditampar oleh sejumlah orang yang mengaku
Front Pembela Islam dan diminta
tandatangan surat bermaterai permintaan maaf banyak disebarkan melalui media sosial. "Besok lu temen-teman lu yang sama etnis
kayak lu juga lu nasehati...ini udah kejadian di gua, supaya nasibnya gak sama kaya lu.
Ini mending lu gak diapa-apain, Di Jakarta Barat udah gak berbentuk...kalau FPI begini --kita pake proseduran, cuma
masyarakat yang gak bisa nahan karena kenapa,
Habib Rizieq Shihab bukan hanya milik FPI, punya umat Islam".1
Masih dalam kasus yang sama, yang
dikutip dari laman https://kumparan.com, disebutkan bahwa:
“Pada 28 mei 2017, …Mario Alfian dan
anggota FPI ke kantor RW 06. Di Kantor RW
06 korban didudukkan dengan dikelilingi oleh sekelompok anggota
FPI. Saat itu Mario dipaksa untuk membuat surat
pernyataan yang isinya korban mengakui telah melakukan pelecehan terhadap FPI…, setelah surat pernyataan dibuat,
ada pelaku mengintimidasi dan
menampar pipi Mario”.2
Belum juga reda mengenai kasus persekusi
terhadap Mario Alfian oleh FPI, di Tangerang
Banten, terdapat kasus persekusi lainnya, yaitu sebuah penelanjangan dan penganiayaan terhadap pasangan kekasih
yang diduga melakukan tindakan asusila. Berita ini
menjadi viral, setelah diungahnya sebuah video di kanal youtube.
Berikut berita lengkapanya, “R dan MA menjadi korban
penganiayaan sekelompok orang karena dituduh
berbuat mesum di sebuah
rumah kontrakan di kawasan Cikupa,
Kabupaten Tangerang. Sekitar pukul 22.00 WIB, R tiba di
kontrakan MA untuk mengantarkan makanan. Dua
sejoli itu pun masuk ke dalam kontrakan untuk menyantap makan malam
bersama. “Ketua RT berinisial T
menggedor pintu (kontrakan MA), pintunya tidak tertutup rapat,”… saat itu T datang bersama
dua orang lainnya
berinisial G dan NA. Usai menggedor
pintu dan masuk ke dalam
kontrakan, ketiga orang
itu memaksa R dan MA mengakui
mereka telah berbuat mesum. "Keduanya dipaksa untuk mengaku
berbuat mesum dan sempat tiga orang inisial G, T, dan A
memaksa laki-laki untuk mengaku dan sempat
mencekik," ucap dia. R dan MA tak mau mengaku. Akibatnya, pasangan kekasih itu diarak oleh massa ke depan sebuah ruko
yang berjarak sekitar 200 meter dari
kontrakannya”.3
Kasus selanjutnya, terjadi di Babelan
Bekasi, Jawa Barat, berikut kutipan berita leng-
kapnya,
1 Tampar anak' dan persekusi orang,
'perilaku FPI yang harus dilawan,
http://www.bbc.com terbitan 1 Juni 2017
diakses pada 2 Jnuari 2018 Pukul 20. 30 wib.
2 Kronologi Kasus
Remaja Mario dan FPI, https://kumparan.com
terbitan Jumat 2 Juni 2017, diakses pada 2
Januari 2018 Pukul 20. 35 wib.
3 Kronologi Pasangan Kekasih Diarak,
Dianiaya, hingga Ditelanjangi,
http://megapolitan.kompas.com terbitan 14 November 2017, diakses pada 2
Desember 2018 Pukul 21.00 wib.
“… seorang pria tewas dibakar massa karena disangka
telah mencuri perangkat amplifier di sebuah masjid.
Belakangan diketahui, pria malang tersebut hanya merupakan korban salah sasaran
warga, karena ampli di masjid
yang dimaksud masih utuh… Awalnya, pria yang disebut-sebut
berprofesi sebagai tukang servis televisi itu hendak
salat Ashar di masjid Desa Muara Bakti. Ia terpaksa
membawa ampli miliknya ke dalam masjid karena khawatir akan hilang jika ditaruh di atas jok motor. Nahas, pria tersebut justru disangka telah
mencuri ampli di masjid itu. Ia menjadi sasaran
kemarahan warga. Meskipun
sudah mencoba berlari
ke kampung lain, warga tetap mengejar dan mengamuk pria itu. Ia bahkan disiram
bensin lalu dibakar
hidup-hidup. Pria itu akhirnya tewas dengan luka bakar parah, tanpa ada
yang menolong”. 4 Sedangan kasus yang terakhir mengenai persekusi,
dapat dibaca dari surat kabar
jawapos.com terbitan Minggu 31 Desember 2017, yaitu penangkapan sebuah anggota Ormas Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan
sweeping toko obat di daerah
Pondok Gede, Bekasi, Jawa
Barat. Berikut kutipan konten berita yang dihimpun penulis:
“Aparat kepolisian mengamankan
seorang anggota FPI yang melakukan swepping di
wilayah Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Penangkapan itu lantaran anggota
FPI melakukan tindakan yang tidak benar saat melakukan
swepping sebuah toko obat
ilegal. Kasubag Humas Polrestro Bekasi Kota Komisaris Erna Ruswing Andari mengatakan pihak kepolisian Bekasi
Kota mendapatkan laporan,
bahwa ada tindakan sweeping yang dilakukan oleh
oknum ormas FPI. Setibanya dilokasi, kata dia,
polisi langsung melakukan tangkap
tangan terhadap pelaku tindakan sweeping
tersebut. Lalu menurut Erna,
ada tiga orang oknum yang memaksa pemilik toko
untuk mengeluarkan semua obat yang dimilikinya. Setibanya dilokasi, kata
dia, polisi langsung melakukan
tangkap tangan terhadap
pelaku tindakan sweeping
tersebut. Lalu menurut Erna,
ada tiga orang oknum yang memaksa pemilik toko
untuk mengeluarkan semua obat yang dimilikinya. Berdasarkan peristiwa
itu pelaku sweeping, pelaku
akan terancam Pasal 170 dengan
ancaman hukuman selama
5 tahun penjara. Sedangkan
pemilik toko akan dikenakan UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 dengan ancaman hukuman penjara selama 10 tahun”.5
Dari kasus kasus yang disampaikan di atas, pasti akan
timbul sebuah pertayaan, apa yang
dimaksud dengan persekusi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, disebutkan bahwa yang dimaksud
persekusi adalah “persekusi/per·se·ku·si/ /pérsekusi/ v pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah
warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas”.6
Sebenarnya dalam ilmu hukum, persekusi
sudah lama dikenal,
yaitu dengan istilah tindakan main hakim sendiri
atau eigenrechting. Dalam kamus hukum, disebutkan bahwa
“Eigenrechting adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak
sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk
melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang
bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang
berkepentingan, hal ini merupakan pelaksanaan
sanksi oleh perorangan”.7
Dari pengertian eingenrechting seperti
di atas, dapat dimaknai bahwa main hakim sendiri adalah tindakan atau cara main
hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa pengetahuan
pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah. Selain itu main
hakim sendiri juga dapat diartikan sebagai tindakan untuk menghukum suatu pihak
tanpa melewati proses/prosedur yang sesuai dengan hukum.
Pada pripnsipnya, kaidah dari hukum
adalah melindungi kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancam juga
mengatur hubungan diantara manusia. Kaidah hukum berfungsi untuk melindungi
kepentingan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, maka
manusia yang memiliki kepentingan hukum itu harus dihayati, dipatuhi,
dilaksanakan dan ditegakkan.
4 Sadis!
Pria di Bekasi Tewas Dibakar Karena Diduga Mencuri Ampli Masjid, http://jogja.tribunnews.com, terbitan
Rabu, 2 Agustus 2017, diakses pada 2 januari 2017 Pukul 20.00 wib.
5 Swepping
Toko Obat, Anggota
FPI Diamankan Polisi, https://www.jawapos.com, terbitan Minggu 31 Desember
2017, diakses pada 2 Januari 2017 Pukul 20.00
wib.
6 https://kbbi.web.id/persekusi diakses pada
2 Januari 2018, Pukul 21.10 wib.
7 Agen
Sindikat, Kamus Hukum Terlengkap - 11.000 istilah bahasa Inggris & Belanda,
hlm. 158, file diunduh dari laman www.academia.edu diakses pada 2 Januari 2018
pukul 22.40 wib.
Selanjutnya terdapat Teguh Prasetyo,
yang menyampaikan bahwa tujuan hukum pidana
dengan membaginya menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:8
1. Tujuan
hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan member dasar
adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran
pidana. Tujuan ini biasanya tidak
tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam
penjelasan umum.
2. Tujuan
dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana. Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya
pelanggaran hukum pidana dan orang yang
melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan
ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.
Selanjutnya, dalam menentukan dan
mewujudkan kebenaran materiil harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka, maka dalam “proses
penyidikan sebagai upaya penting
dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya
persangkaan dilakukan tindak pidana dan guna menemukan si
bersalah, merupakan tugas yang harus benar-benar
diperhatikan oleh Polri dalam kedudukannya sebagai aparat negara
dalam menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang
terjadi dalam masyarakat”.9 Dengan adanya tujuan hukum sebagai penjamin kepastian dan tertib hukum seperti di atas, dapat dipahami bahwa tindakan
persekusi, bukan merupakan cara yang tepat, melainkan merupakan suatu
pelanggaran hak asasi manusia.
Masyarakat mungkin lupa atau bahkan
tidak tahu, bahwa bukan hanya mereka
yang memiliki hak asasi, para pelaku tindak pidanapun memiliki hak asasi yang harus dihormati, yaitu hak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dimuka pengadilan. Selain bertentangan dengan HAM, bahwa tindakan
main hakim sendiri
(Eingenrechting), juga tidak dapat dibenarkan, karena pelaksanaan sanksi pidana merupakan
monopoli penguasa. Hanya penguasa yang memiliki kekuasaan
yang dapat memberi
sanksi, sedangkan perorangan tidak
8 Teguh
Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jilid
II, Jakarta, Rajawali Press, hlm. 7.
9 Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta,
Ghalia Indonesia, hlm. 17.
diperkenankan melaksanakan sanksi
untuk menegakkan hukum. Misalnya: pengadilan
merupakan lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi atau pidana pada seorang terdakwa.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pertanggungjawaban
Pidana Pelaku Persekusi
Sejatinya tindakan persekusi sudah lama terjadi di
Indonesia, namun baru pertengahan tahun 2017, mendadak
menjadi viral, setelah banyak media massa beramai-ramai
mengunakan “persekusi” sebagai judul hadline beritanya. Contoh dari tindakan persekusi
di Indonesia sebelum menjadi
viral, dapat dilihat
dari yang disampaikan LBH Jakarta dalam siaran pres koalisi anti persekusi,
yaitu “tercatat tahun 1965 saat orang dengan
mudah dibunuh, dianiaya karena dituduh komunis tanpa proses peradilan,
Petrus atau penembakan misterius di
era 90-an, dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi dan persekusi terhadap Ahmadiyah”.10
Seperti yang disebutkan di atas, bahwa berdasarkan
pertimbangan cara yang digunakan
dalam persekusi, penulis cenderung setuju bahwa persekusi merupakan bentuk baru dari tindakan main hakim
sendiri. Lantas apa yang dimaksud dengan pengertian “main hakim sendiri”, istilah
main hakim sendiri,
dikenal juga dengan
pengadilan massa, di Belanda,
“main hakim sendiri” dikenal dengan istilah
eingenrechting.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi
Keempat (2008), “main hakim sendiri, diartikan sebagai menghakimi orang lain
tanpa mempedulikan hukum yang ada
(biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb)”.
Kasus main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan
salah satu bentuk reaksi masyarakat
karena adanya pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat. Reaksi masyarakat, ditinjau dari sudut
sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif.11
Aspek
positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut:12
a.
Aspek positif
ialah jika memenuhi
syarat sebagai berikut:
Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatan-pendekatan kemasyarakatan sesuai dengan latar
belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.
b.
Reaksi masyarakat
didasarkan atas kerja sama dengan aparat keamanan atau penegak hukum secara resmi.
c.
Tujuan penghukuman adalah
pembinaan dan penyadaran atas pelaku kejahatan.
d.
Mempertimbangkan dan
memperhitungkan sebab-sebab dilakukannya suatu
tindakan kejahatan
Sedangkan aspek negatif, jika:13
a.
Reaksi masyarakat adalah
serta merta, yaitu dilakukan dengan dasar luapan emosional.
b.
Reaksi masyarakat didasarkan atas ketentuan
lokal yang berlaku
didalam masyarakat yang
bersangkutan (tak resmi).
c.
Tujuan penghukuman
cenderung lebih bersifat pembalasan, penderaan, paksaan, dan pelampiasan dendam.
d.
Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dan memperhitungkan
latar
belakang
mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.
Berbeda dengan Abdul Syahni, Andi
Hamzah, menyatakan bahwa “Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan
sejajar dengan pelanggaran hak-hak orang lain, dan oleh karena itu tidak
diperbolehkan perbuatan ini menunjukkan bahwa adanya indikasi rendahnya
kesadaran terhadap hukum”.14
Dari pengertian “main hakim sendiri”
seperti di atas, dapat dipahami bahwa larangan dari tindakan main hakim sendiri
tersebut didasarkan “tanpa adanya proses/prosedur yang harus dilalui terduga
pelaku tindak pidana sekaligus adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia”.
Harus diakui bahwa proses/prosedur
penegakan hukum pidana, selain dapat memberikan kepastian hukum sekaligus
sebagai upaya dalam melindungi hak asasi manusia terduga pelaku tindak pidana.
10 Siaran Pers Koalisi Anti Persekusi, Op., Cit
11 Abdul Syahni, 1987, Sosiologi Kriminalitas, Bandung, Remaja Karya, hlm. 100.
12 Ibid.,
hlm. 100-101.
13 Ibid.,
14 Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 167.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, bahwa
setiap terduga pelaku tindak pidana, sebelum dapat dikatakan “bersalah”
terlebih dahulu diharuskan menjalani proses/prosedur tahapan dan tingkatan
seperti di atas. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas hukum acara pidana, yaitu praduga tak bersalah
(presumption of innocence).
Ketentuan mengenai asas praduga tak
bersalah (presumption of innocence) tersebut dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang
Ke- kuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), yaitu “Setiap orang yang disangka, di- tangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak
bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Guna menopang tegaknya asas praduga
tak bersalah, maka ketentuan dalam KUHAP
memberikan seperangkat hak yang wajib dihormati dan dilindungi oleh para penegak hukum.
Dengan adanya hak-hak yang diakui oleh hukum, maka kedudukan tersangka / terdakwa menjadi
sejajar dengan penegak
hukum dan berhak
menuntut perlakukan yang
digariskan dalam KUHAP, yaitu:
a. Segera
mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1);
b. Segera diajukan
ke pengadilan dan segera diadili
oleh pengadilan (Pasal
50 ayat 2 dan ayat 3);
c. Tersangka
berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya
tentang apa yang disangkakan kepadanya
pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat
1); Tujuan kedua hak ini untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan;
d. Berhak
memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses
pemeriksaan disidang pengadilan (Pasal 52);
e. Berhak
untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan jika
tersangka/terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 177 ayat 1);
f. Berhak mendapat
bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu
dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
g. Berhak
memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55);
h. Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter
pribadinya selama ia dalam tahanan
(Pasal 58);
i. Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan
dia atas penahanan yang dilakukan terhadap
dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59);
j. Berhak
menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain,
guna mendapatkan jaminan atau penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60);
k. Berhak
secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan
sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa (Pasal 61);
l. Berhak mengirim
surat dan menerima
surat setiap kali diperlakukan yaitu
kepada dan dari:
1) penasihat hukumnya;
2) dan
sanak keluarganya.
Untuk keperluan surat-menyurat ini pejabat yang bersangkutan harus menyediakan
peralatan yang diperlukan (Pasal 62 ayat (1);
m. Surat-menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya
penyalahgunaan suratmenyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2);
n. Terdakwa berhak
untuk diadili dalam
sidang pengadilan yang terbuka untuk
umum (Pasal 64);
o. Berhak
untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan
keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (saksi a de charge Pasal 65);
p. Tersangka
atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66); dan
q. Berhak
menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penang- kapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan
hukum (Pasal 68).
Dari uraian di atas, dapat dipahami,
jika terdapat orang atau kelompok yang diduga atau tertangkap tangan melakukan tindak
pidana oleh masyarakat, sudah seharusnya dilaporkan
kepada pihak yang berwajib, yaitu Kepolisian, selanjutnya jika dalam penyelidikan dan penyidikan
Kepolisian menemukan unsur-unsur tindak pidana, tentu saja proses tersebut akan terus berlanjut sampai pada tahap
putusan di Pengadilan.
2.
Perkecualian
Pertanggungjawaban Tindak Pidana
Seperti yang diketahui, bahwa setiap tindak pidana
harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku,
tidak terkecuali dalam hal tindak
pidana persekusi atau main hakim sendiri
(eigenrechting), pelaku persekusi
juga harus mempertanggungjawabkan perbuatnnya.
Meskipun demikian, seperti yang disampaiakan
Mertokesumo, “Setiap pelanggar aturan hukum pada dasarnya
harus dikenakan sanksi.
Namun ada perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak
dikenakan sanksi karena adanya alasan penghapus pidana”.15
Selanjutnya, Moeljatno, meyampaikan bahwa “perbuatan
pidana hanya menunjuk kepada dilarang
dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana,
sehingga setiap perbuatan dapat tidaknya
dipertanggungjawabkan secara pidana, tergantung dari soal, apakah dalam melakukan perbuatan ini, dia
mempunyai kesalahan”.16
_______________________________
15 Mertokesumo 1996,
dalam Lidya Suryani Widayati, Tindakan
Main Hakim Sendiri Dalam Kasus Begal, Jurnal Info Singkat
Hukum Vol. Vii, No. 05/I/P3di/Maret 2015, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan
Informasi (P3di) Sekretariat Jenderal DPR RI,
hlm. 2.
16 Moeljatno,
1993, Azas-Azas Hukum Pidana,
Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 165.
Berdasarkan hal tersebut maka
pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut
hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan
bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat;
b. Adanya
perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan
kurang hati-hati atau lalai;
c. Tidak
ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
Pendapat
yang disampaikan Moeljatno seperti di atas, didasarkan pada sebuah asas dalam hukum pidana yaitu “tidak dipidana
jika tidak ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa
belanda disebut “Geen straf zonder schuld”
sedangkan dalam bahasa
latin dikenal dengan istilah “Actus non facit reum misi mens sist
rea”.
Dari pendapat yang
disampaikan ahli hukum pidana seperti di atas, dapat dipahami, bahwa agar tindak
pidana dapat dipertanggungjawabkan harus terdapatnya unsur
kesalahan. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa terdapat dimensi yang
berbeda antara persekusi dan main
hakim sendiri, namun karena keduanya sama-sama dilakukan tanpa melalui proses/prosedur penanganan tindak pidana
sebagaimana mestinya, maka keduanya
dapat dianggap sebagai tindak pidana.
Meskipun sama-sama merupakan tindak
pidana, namun dalam hal “perkecualian
tindak pidana”, penulis harus membedakan antara persekusi dan main haki
sendiri. Jika dalam main hakim
sendiri, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan, main hakim sendiri tidak dapat dipidana,
yaitu terdapatnya “alasan penghapusan pidana”.
Angaplah sebuah contoh, jika terdapat
seseorang yang menjadi korban pencopetan,
dan pada saat aksi pencopetan tersebut dilakukan pelaku, korban mengetahui dan meminta dibalikan barangnya, dan
selanjutnya terjadi perkelaian antara pelaku dan korban pencopetan, hingga pada akhirnya, pelaku pencopetan
kalah dan mengalami luka-luka.
Berdasarkan contoh di atas tersebut, jika hanya mengunakan peranggungjawaban tindak pidana dalam hal pencopetan (pencurian)
dan penganiayaan, maka dapat dipastikan
baik pelaku maupun korban pencopetan dapat diancam dengan pidana, jika pelaku pencopetan dapat diancam pidana
dengan ketentuan Pasal 362 KUHP, yaitu “Barang
siapa mengambil barang sesuatu,
yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara
melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah”.
Sedangkan korban dari pencopetan yang
melakukan perlawanan, dapat diancam dengan
pasal penganiayaan, yaitu yang terdapat dalam ketentuan Pasal 351 KUHP:
(1) Penganiayaan diancam
dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
(2) Jika perbuatan
mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika
mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4) Dengan
penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
(5) Percobaan
untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Sesuai dengan penjelasan di atas,
untuk pelaku pencopetan/pencurian, sudah dapat
dipastikan bahwa perbuatannya dapat diancam dengan pidana. Berbeda halnya dengan korban pencopetan (yang melakukan
perlawanan), meskipun, tindakan dari korban tersebut
menimbulkan luka-luka pada pelaku pencopetan, namun tindakan tersebut tidak dapat diancam dengan
pidana, karena tidak
memenuhi unsur-unsur kesalahan
dalam tindak pidana. Penjelasan
tidak terpenuhinya unsur-unsur kesalahan korban pencopetan (yang melakukan perlawanan) tersebut adalah:
a.
Dalam hal kemampuan bertanggungjawab
b.
Adanya perbuatan melawan hukum
Berdasarkan uraian di atas, meskipun perbuatan korban
pencopetan yang melakukan perlawanan
menimbulkan luka-luka pada pelaku pencopetan, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan
main hakim sendiri,
namun dalam hal pertanggungjawaban pidana,
korban pencopetan tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.
Sedangkan dalam tindakan persekusi, dalam hal
kemampuan bertanggungjawab, sudah
barang tentu pelaku dalam keadaan sehat baik jasmani dan rohani, hal tersebut dapat dilihat dari usaha pelaku persekusi
dalam mencari, menemukan dan mengeksekusi terduga pelaku tindak pidana, sehingga pelaku
persekusi, dapat diancam dengan saksi pidana.
Sedangkan unsur terakhir dari pertanggungjawaban pidana adalah tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam tindakan
persekusi, tidak tedapat unsur-
unsur yang dapat digunakan sebagai
alasan penghapus maupun
alasan pembenar dalam hukum pidana.
Alasan yang digunakan penulis adalah dalam tindakan
persekusi sudah terdapat niat yang menghendaki tujuan dari persekusi tersebut, hal itu dapat dilihat
dari tahapan tindakan persekusi yang dilakukan, aitu
dimulai dengan mencari dan menemukan target/korban
persekusi, hingga pada akhirnya melakukan persekusi pada korban, sehingga tidak memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 44, Pasal
48, Pasal 49 maupun
Pasal 51 KUHP.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan yang
jelas, atara pertanggungjawaban pidana
(seperti contoh) dengan tindakan persekusi, jika dalam tindakan main hakim sendiri, masih terdapat unsur-unsur yang
dapat digunakan untuk mengunakan alasan pembenar
dalam tindak pidana, yaitu ketentuan Pasal 49 KUHP sedangkan dalam tindakan persekusi, unsur alasan pembenar atau
alasan pemaaf tidak terpenuhi, sehingga dalam
tindakan persekusi tidak terdapat perkecualian pertanggungjawaban pidana.
Dengan tidak adanya perkecualian terhadap tindakan
persekusi, maka setiap pelaku persekusi,
harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena persekusi merupakan tindak pidana dan dapat diacam
dengan ketentuan pidana seperti yang diatur dalam KUHP.
BAB
III
PENUTUP
Seperti yang diketahui, bahwa tidak semua
tindak pidana dapat
diancam dengan pidana, karena
terdapat alasan pembenar
dan alasan pemaaf
dalam tindak pidana.
Untuk kondisi-kondisi tertentu, dalam tindakan main hakim sendiri,
khususnya dalam hal mempertahankan
diri/harta benda/kehormatannya, alasan pembenar dapat digunakan, karena memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam ketentuan KUHP, khususnya Pasal 49
KUHP.
Berbeda halnya dengan tindakan persekusi, menurut
penulis, dalam tindakan persekusi
tidak terdapat unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam tindakannya, karena
jika dilihat dari prosesnya, tindakan persekusi, diawali
dengan mencari, menemukan
dan mengeksekusi terduga
pelaku tindak pidana, sudah
barang tentu diawali dengan adanya kesengajaan sebagai niat.
Berdasarkan uraian di atas, kiranya jelas bahwa untuk kondisi tertentu
dalam tindakan main hakim
sendiri, masih terdapat perkecualian pertanggungjawaban pidana, sedangkan dalam tindakan persekusi tidak
terdapat unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf, sehingga tidak terdapat
perkecualian pertanggungjawa- ban pidana.
Dengan tidak terdapatnya perkecualaian pertanggungjawaban pidana,
sedah ba- rang tentu, setiap
pelaku persekusi dapat diancam dengan saksi pidana sesuai dengan keten- tuan peraturan perundang-undangan
di Indonesia.
Menurut penulis terdapat dua hal yang
dapat digunakan untuk meminimalisirkan
tindakan persekusi atau main hakim sendiri,
yaitu:
a.
Mensosialisasikan kepada
masyarakat luas, apa dan bagaimana tindak pidana persekusi dan tindakan main hakim sendiri,
sekaligus menyampaikan saksi-saksi dari tindakan tersebut
b.
Membuat aturan
yang secara tegas mengenai tindakan
persekusi atau main tindakan
main hakim sendiri dalam suatu peratruran perundang-undangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Syahni, 1987, Sosiologi Kriminalitas, Bandung,
Remaja Karya.
Agen Sindikat, Kamus
Hukum Terlengkap - 11.000 istilah bahasa Inggris & Belanda, file diunduh dari laman www.academia.edu diakses pada 2 Januari 2018
pukul 22.40 wib.
Andi Hamzah, 1986, Kamus
Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia.
https://kbbi.web.id/persekusi diakses pada 2 Januari 2018, Pukul 21.10 wib.
Kronologi Kasus Remaja Mario dan FPI, https://kumparan.com terbitan
Jumat 2 Juni 2017, diak- ses pada 2 Januari 2018 Pukul 20. 35 wib.
Kronologi Pasangan
Kekasih Diarak, Dianiaya, hingga Ditelanjangi, http://megapolitan.kompas.-
com terbitan 14 November 2017, diakses pada 2 Desember 2018 Pukul 21.00 wib.
Martiman
Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan
Penyidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia.
Mertokusumo, 1996, dalam Lidya Suryani
Widayati, Tindakan
Main Hakim Sendiri
Dalam Kasus
Begal, Jurnal Info
Singkat Hukum Vol. Vii, No. 05/I/P3di/Maret 2015, Jakarta,
Pusat Peng- kajian, Pengolahan Data
Dan Informasi (P3di) Sekretariat Jenderal DPR
RI.
Moeljatno,
1993, Azas-Azas Hukum Pidana,
Jakarta, Rineka Cipta.
Sadis! Pria di
Bekasi Tewas Dibakar Karena Diduga Mencuri Ampli Masjid, http://jogja.tribunne-
ws.com, terbitan Rabu, 2 Agustus 2017,
diakses pada 2 januari 2017 Pukul 20.00 wib.
Swepping Toko Obat, Anggota
FPI Diamankan Polisi, https://www.jawapos.com, terbitan
Ming- gu 31 Desember 2017, diakses pada 2 Januari 2017 Pukul 20.00 wib.
Tampar anak' dan
persekusi orang, 'perilaku FPI yang harus dilawan,
http://www.bbc.com terbi- tan 1 Juni 2017 diakses pada 2 Jnuari 2018 Pukul 20.30 wib.
Teguh
Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jilid II,
Jakarta, Rajawali Press.