-->
  • Makalah Analisa Kasus Main Hakim Sendiri : Mario Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang


    ANALISA KASUS
    “PELAKU PERSEKUSI DAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI”
    Kasus :
    Mario Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang

    Disusun Oleh :
                   H. Galih Gumelar             
      NIM : 1807020008


    MAGISTER ILMU HUKUM
    UNIVERSITAS ISLAM SYEKH YUSUF TANGERANG
    2019

     

     

     

     

     

     

    Kata Pengantar


    Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT karena atas karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai pada waktu yang telah ditentukan. guna memenuhi tugas mata Kuliah Hukum Pidana dan HAM di semester III ini. Dengan Judul “PELAKU PERSEKUSI DAN TINDAKAN MAIN HAKIM SENDIRI” Dengan Contoh Kasus : Mario Alvian Di Cipindang Jakarta Timur dan Kontrakan di Cikupa Tangerang.

    Rasa terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada berbagai pihak yang turut berperan untuk terselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan, sehingga masih jauh dari kesempurnaan, dengan sikap terbuka penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah Analisa Kasus ini dapat memberikan manfaat dan literature pengetahuan kita tentang keadilan sosial dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.








    Tangerang, 25 Desember 2019




    Penulis                                   


    DAFTAR ISI
    Kata Pengantar…………………………………………………………………2
    Daftar Isi……………………………………………………………………….3
    BAB I Pendahuluan……………………………………………………………4
    BAB II Pembahasan…………………………………………………………...11
    BAB III Kesimpulan dan Saran ………………………………………………19
    Daftar Pustaka ………………………………………………………………...20

























    BAB I
    PENDAHULUAN

    A.       Pendahulan

    Akhir-akhir ini kita terhentak dengan pemberitaan di media, baik media online maupun konvensional, yaitu tentang maraknya tindakan persekusi, Dalam bahasa Inggris, persekusi disebut dengan persecution yang memiliki makna “hostility and ill-treatment, especially because of race or political or religious beliefs”. Secara sederhana, dapat digambarkan bahwa tindakan persekusi dimulai dengan tindakan mengidentifikasi, mencari dan mengeksekusi pelaku yang diduga melakukan tindak pidana berdasarkan alasan di atas, atau dengan kata lain, bahwa persekusi adalah tindakan untuk menghakimi tanpa melalui proses/prosedur yang seharusnya, yang dalam hukum pidana disebut dengan tindakan main hakim sendiri (eigenrechting). Harus diakui bahwa antara persekusi dan tindakan main hakim sendiri, memiliki dimensi yang berbeda, namun ketika dilihat dari cara yang dilakukan penulis meyakini bahwa tindakan persekusi merupakan tindakan main hakim sendiri ataupun kalou tidak, persekusi merupakan bentuk baru dari main hakim sendiri (eingerechting). Dengan demikian, baik tindakan persekusi dan tindakan main hakim sendiri merupakan tindak pidana, sehingga setiap pelaku perbuatan tersebut sudah pasti dapat diancam dengan saksi pidana.
    Sesuai dengan penjelasan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dengan jelas disebutkan bahwa “Indonesia adalah Negara Hukum”. Jika ketentuan tersebut diinterpretasi secara gramatikal, maka terdapat konsekuensi dari sebuah Negara hukum, yaitu bahwa semua bentuk keputusan, tindakan alat-alat perlengkapan Negara, segala sikap, tingkah laku dan perbuatan termasuk yang dilakukan oleh warga negara, harus memiliki landasan hukum atau dengan kata lain, semua harus punya legitimasi secara hukum.
    Namun realita hukum pidana di masyarakat tidak semudah seperti yang disampiakan di atas, banyak permasalahan yang kompleks dan bermunculan, diantaranya adalah permasalahan tindak pidana yang semakin berkembang dan bervariasi, seiring dengan perkembangan masyarakat menuju era modern.
    Dengan tumbuh dan meningkatnya masalah kejahatan, secara tidak langsung memunculkan sebuah anggapan dari masyarakat, bahwa aparat penegak hukum gagal dalam menanggulangi masalah dan dianggap lambat dalam menjalankan tugasnya serta adanya ketidakpuasan masyarakat dalam penagakan hukum. Hal ini akibat proses panjang dari sistem peradilan yang kurang mendidik, dimana seringkali terjadi tersangka pelaku kejahatan dan merugikan masyarakat, dilepas oleh penagak hukum dengan alasan kurang kuatnya bukti, kalaupun kasus diproses sampai pengadilan, pidana yang dijatuhkan tidak sesuai dengan harapan masyarakat.
    Dengan adanya anggapan yang demikian, memicu sebagian masyarakat yang merasa keamanan, ketentramannya terganggu dan sudah tidak mempercaya dengan aparat penegak hukum, sehingga melakukan tindakan main hakim sendiri terhadap pelaku kejahatan tanpa mengikuti proses hukum yang berlaku. Hal tersebut dapat dilihat akhir-akhir ini banyak
    berita mengenai persekusi di Indonesia, baik di media konfensional maupun berita online. Berikut adalah contoh-contoh tindakan persekusi yang berhasil dihimpun penulis:
    Kasus yang pertama, menimpa Mario Alvian, remaja 15 tahun warga Cipinang Muara, Jakarta Timur. Kasus tersebut mencuat saat sebuah video persekusi tersebut diungahnya di kanal video milik perusahaan Google.LLC yaitu youtube. Berikut isi berita yang dikutip dari http://www.bbc.com,
    “… remaja bernama Putra Mario Alfian ditampar oleh sejumlah orang yang mengaku Front Pembela Islam dan diminta tandatangan surat bermaterai permintaan maaf banyak disebarkan melalui media sosial. "Besok lu temen-teman lu yang sama etnis kayak lu juga lu nasehati...ini udah kejadian di gua, supaya nasibnya gak sama kaya lu. Ini mending lu gak diapa-apain, Di Jakarta Barat udah gak berbentuk...kalau FPI begini --kita pake proseduran, cuma masyarakat yang gak bisa nahan karena kenapa, Habib Rizieq Shihab bukan hanya milik FPI, punya umat Islam".1
    Masih dalam kasus yang sama, yang dikutip dari laman https://kumparan.com, disebutkan bahwa:
    “Pada 28 mei 2017, …Mario Alfian dan anggota FPI ke kantor RW 06. Di Kantor RW 06 korban didudukkan dengan dikelilingi oleh sekelompok anggota FPI. Saat itu Mario dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang isinya korban mengakui telah melakukan pelecehan terhadap FPI…, setelah surat pernyataan dibuat, ada pelaku mengintimidasi dan menampar pipi Mario”.2
    Belum juga reda mengenai kasus persekusi terhadap Mario Alfian oleh FPI, di Tangerang Banten, terdapat kasus persekusi lainnya, yaitu sebuah penelanjangan dan penganiayaan terhadap pasangan kekasih yang diduga melakukan tindakan asusila. Berita ini menjadi viral, setelah diungahnya sebuah video di kanal youtube. Berikut berita lengkapanya, “R dan MA menjadi korban penganiayaan sekelompok orang karena dituduh berbuat mesum di sebuah rumah kontrakan di kawasan Cikupa, Kabupaten Tangerang. Sekitar pukul 22.00 WIB, R tiba di kontrakan MA untuk mengantarkan makanan. Dua sejoli itu pun masuk ke dalam kontrakan untuk menyantap makan malam bersama. “Ketua RT berinisial T menggedor pintu (kontrakan MA), pintunya tidak tertutup rapat,”… saat itu T datang bersama dua orang lainnya berinisial G dan NA. Usai menggedor pintu dan masuk ke dalam kontrakan, ketiga orang itu memaksa R dan MA mengakui mereka telah berbuat mesum. "Keduanya dipaksa untuk mengaku berbuat mesum dan sempat tiga orang inisial G, T, dan A memaksa laki-laki untuk mengaku dan sempat mencekik," ucap dia. R dan MA tak mau mengaku. Akibatnya, pasangan kekasih itu diarak oleh massa ke depan sebuah ruko yang berjarak sekitar 200 meter dari kontrakannya”.3
    Kasus selanjutnya, terjadi di Babelan Bekasi, Jawa Barat, berikut kutipan berita leng- kapnya,
    1 Tampar anak' dan persekusi orang, 'perilaku FPI yang harus dilawan, http://www.bbc.com terbitan 1 Juni 2017 diakses pada 2 Jnuari 2018 Pukul 20. 30 wib.
    2 Kronologi Kasus Remaja Mario dan FPI, https://kumparan.com terbitan Jumat 2 Juni 2017, diakses pada 2 Januari 2018 Pukul 20. 35 wib.
    3 Kronologi Pasangan Kekasih Diarak, Dianiaya, hingga Ditelanjangi, http://megapolitan.kompas.com terbitan 14 November 2017, diakses pada 2 Desember 2018 Pukul 21.00 wib.

    “…        seorang pria tewas dibakar massa karena disangka telah mencuri perangkat amplifier di sebuah masjid. Belakangan diketahui, pria malang tersebut hanya merupakan korban salah sasaran warga, karena ampli di masjid yang dimaksud masih utuh… Awalnya, pria yang disebut-sebut berprofesi sebagai tukang servis televisi itu hendak salat Ashar di masjid Desa Muara Bakti. Ia terpaksa membawa ampli miliknya ke dalam masjid karena khawatir akan hilang jika ditaruh di atas jok motor. Nahas, pria tersebut justru disangka telah mencuri ampli di masjid itu. Ia menjadi sasaran kemarahan warga. Meskipun sudah mencoba berlari ke kampung lain, warga tetap mengejar dan mengamuk pria itu. Ia bahkan disiram bensin lalu dibakar hidup-hidup. Pria itu akhirnya tewas dengan luka bakar parah, tanpa ada yang menolong”. 4 Sedangan  kasus yang terakhir mengenai  persekusi,  dapat dibaca dari surat     kabar jawapos.com terbitan Minggu 31 Desember 2017, yaitu penangkapan sebuah anggota Ormas Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan sweeping toko obat di daerah Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Berikut kutipan konten berita yang dihimpun penulis:
    “Aparat kepolisian mengamankan seorang anggota FPI yang melakukan swepping di wilayah Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat. Penangkapan itu lantaran anggota FPI melakukan tindakan yang tidak benar saat melakukan swepping sebuah toko obat ilegal. Kasubag Humas Polrestro Bekasi Kota Komisaris Erna Ruswing Andari mengatakan pihak kepolisian Bekasi Kota mendapatkan laporan, bahwa ada tindakan sweeping yang dilakukan oleh oknum ormas FPI. Setibanya dilokasi, kata dia, polisi langsung melakukan tangkap tangan terhadap pelaku tindakan sweeping tersebut. Lalu menurut Erna, ada tiga orang oknum yang memaksa pemilik toko untuk mengeluarkan semua obat yang dimilikinya. Setibanya dilokasi, kata dia, polisi langsung melakukan tangkap tangan terhadap pelaku tindakan sweeping tersebut. Lalu menurut Erna, ada tiga orang oknum yang memaksa pemilik toko untuk mengeluarkan semua obat yang dimilikinya. Berdasarkan peristiwa itu pelaku sweeping, pelaku akan terancam Pasal 170 dengan ancaman hukuman selama 5 tahun penjara. Sedangkan pemilik toko akan dikenakan UU RI No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 196 Jo Pasal 98 ayat 2 dengan ancaman hukuman penjara selama 10 tahun”.5
    Dari kasus kasus yang disampaikan di atas, pasti akan timbul sebuah pertayaan, apa yang dimaksud dengan persekusi, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) online, disebutkan bahwa yang dimaksud persekusi adalah “persekusi/per·se·ku·si/ /pérsekusi/ v pemburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga dan disakiti, dipersusah, atau ditumpas”.6
    Sebenarnya dalam ilmu hukum, persekusi sudah lama dikenal, yaitu dengan istilah tindakan main hakim sendiri atau eigenrechting. Dalam kamus hukum, disebutkan bahwa
    Eigenrechting adalah tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri tidak lain merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendak sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan pihak lain yang berkepentingan, hal ini merupakan pelaksanaan sanksi oleh perorangan”.7
    Dari pengertian eingenrechting seperti di atas, dapat dimaknai bahwa main hakim sendiri adalah tindakan atau cara main hakim sendiri, mengambil hak tanpa mengindahkan hukum, tanpa pengetahuan pemerintah dan tanpa penggunaan alat kekuasaan pemerintah. Selain itu main hakim sendiri juga dapat diartikan sebagai tindakan untuk menghukum suatu pihak tanpa melewati proses/prosedur yang sesuai dengan hukum.
    Pada pripnsipnya, kaidah dari hukum adalah melindungi kepentingan manusia terhadap bahaya yang mengancam juga mengatur hubungan diantara manusia. Kaidah hukum berfungsi untuk melindungi kepentingan manusia, baik secara individual maupun secara kelompok, maka manusia yang memiliki kepentingan hukum itu harus dihayati, dipatuhi, dilaksanakan dan ditegakkan.
    4 Sadis! Pria di Bekasi Tewas Dibakar Karena Diduga Mencuri Ampli Masjid, http://jogja.tribunnews.com, terbitan  Rabu, 2 Agustus 2017, diakses pada 2 januari 2017 Pukul 20.00 wib.
    5 Swepping Toko Obat, Anggota FPI Diamankan Polisi, https://www.jawapos.com, terbitan Minggu 31 Desember 2017, diakses pada 2 Januari 2017 Pukul 20.00 wib.
    6 https://kbbi.web.id/persekusi diakses pada 2 Januari 2018, Pukul 21.10 wib.
    7 Agen Sindikat, Kamus Hukum Terlengkap - 11.000 istilah bahasa Inggris & Belanda, hlm. 158, file diunduh dari laman www.academia.edu diakses pada 2 Januari 2018 pukul 22.40 wib.

    Selanjutnya terdapat Teguh Prasetyo, yang menyampaikan bahwa tujuan hukum pidana dengan membaginya menjadi 2 (dua) bagian, yaitu:8
    1.    Tujuan hukum pidana sebagai hukum Sanksi. Tujuan ini bersifat konseptual atau filsafati yang bertujuan member dasar adanya sanksi pidana. Jenis bentuk dan sanksi pidana dan sekaligus sebagai parameter dalam menyelesaikan pelanggaran pidana. Tujuan ini biasanya tidak tertulis dalam pasal hukum pidana tapi bisa dibaca dari semua ketentuan hukum pidana atau dalam penjelasan umum.
    2.    Tujuan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap orang yang melanggar hukum pidana. Tujuan ini bercorak pragmatik dengan ukuran yang jelas dan konkret yang relevan dengan problem yang muncul akibat adanya pelanggaran hukum pidana dan orang yang melakukan pelanggaran hukum pidana. Tujuan ini merupakan perwujudan dari tujuan pertama.
    Selanjutnya, dalam menentukan dan mewujudkan kebenaran materiil harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan kepentingan tersangka, maka dalam “proses penyidikan sebagai upaya penting dalam mencari kebenaran sejati tentang adanya persangkaan dilakukan tindak pidana dan guna menemukan si bersalah, merupakan tugas yang harus benar-benar diperhatikan oleh Polri dalam kedudukannya sebagai aparat negara dalam menangani proses pemeriksaan tindak pidana yang terjadi dalam masyarakat”.9 Dengan adanya tujuan hukum sebagai penjamin kepastian dan tertib hukum seperti di atas, dapat dipahami bahwa tindakan persekusi, bukan merupakan cara yang tepat, melainkan merupakan suatu pelanggaran hak asasi manusia. Masyarakat mungkin lupa atau bahkan tidak tahu, bahwa bukan hanya mereka yang memiliki hak asasi, para pelaku tindak pidanapun memiliki hak asasi yang harus dihormati, yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dimuka pengadilan. Selain bertentangan dengan HAM, bahwa tindakan main hakim sendiri (Eingenrechting), juga tidak dapat dibenarkan, karena pelaksanaan sanksi pidana merupakan monopoli penguasa. Hanya penguasa yang memiliki kekuasaan yang dapat memberi sanksi, sedangkan perorangan tidak
    8  Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jilid II,  Jakarta, Rajawali Press, hlm. 7.
    9 Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 17.

    diperkenankan melaksanakan sanksi untuk menegakkan hukum. Misalnya: pengadilan merupakan lembaga yang berwenang untuk menjatuhkan sanksi atau pidana pada seorang terdakwa.





























    BAB II
    PEMBAHASAN


    1.         Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Persekusi
    Sejatinya tindakan persekusi sudah lama terjadi di Indonesia, namun baru pertengahan tahun 2017, mendadak menjadi viral, setelah banyak media massa beramai-ramai mengunakan “persekusi” sebagai judul hadline beritanya. Contoh dari tindakan persekusi di Indonesia sebelum menjadi viral, dapat dilihat dari yang disampaikan LBH Jakarta dalam siaran pres koalisi anti persekusi, yaitu “tercatat tahun 1965 saat orang dengan mudah dibunuh, dianiaya karena dituduh komunis tanpa proses peradilan, Petrus atau penembakan misterius di era 90-an, dukun santet tahun 1998 di Banyuwangi dan persekusi terhadap Ahmadiyah”.10
    Seperti yang disebutkan di atas, bahwa berdasarkan pertimbangan cara yang digunakan dalam persekusi, penulis cenderung setuju bahwa persekusi merupakan bentuk baru dari tindakan main hakim sendiri. Lantas apa yang dimaksud dengan pengertian “main hakim sendiri”, istilah main hakim sendiri, dikenal juga dengan pengadilan massa, di Belanda, “main hakim sendiri” dikenal dengan istilah eingenrechting.
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat (2008), “main hakim sendiri, diartikan sebagai menghakimi orang lain tanpa mempedulikan hukum yang ada (biasanya dilakukan dengan pemukulan, penyiksaan, pembakaran, dsb)”.
    Kasus main hakim sendiri (Eigenrechting) merupakan salah satu bentuk reaksi masyarakat karena adanya pelanggaran norma yang berlaku di masyarakat. Reaksi masyarakat, ditinjau dari sudut sosiologis, dapat dibedakan menjadi dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif.11
    Aspek positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut:12
    a.         Aspek positif ialah jika memenuhi syarat sebagai berikut: Reaksi masyarakat terhadap kejahatan melalui pendekatan-pendekatan kemasyarakatan sesuai dengan latar belakang terjadinya suatu tindakan kejahatan.
    b.         Reaksi masyarakat didasarkan atas kerja sama dengan aparat keamanan atau penegak hukum secara resmi.
    c.          Tujuan penghukuman adalah pembinaan dan penyadaran atas pelaku kejahatan.
    d.        Mempertimbangkan dan memperhitungkan sebab-sebab dilakukannya suatu tindakan kejahatan
    Sedangkan aspek negatif, jika:13
    a.         Reaksi masyarakat adalah serta merta, yaitu dilakukan dengan dasar luapan emosional.
    b.         Reaksi masyarakat didasarkan atas ketentuan lokal yang berlaku didalam masyarakat yang bersangkutan (tak resmi).
    c.          Tujuan penghukuman cenderung lebih bersifat pembalasan, penderaan, paksaan, dan pelampiasan dendam.
    d.        Relatif lebih sedikit mempertimbangkan dan memperhitungkan latar  
    belakang mengapa dilakukan suatu tindakan kejahatan.
    Berbeda dengan Abdul Syahni, Andi Hamzah, menyatakan bahwa “Perbuatan main hakim sendiri hampir selalu berjalan sejajar dengan pelanggaran hak-hak orang lain, dan oleh karena itu tidak diperbolehkan perbuatan ini menunjukkan bahwa adanya indikasi rendahnya kesadaran terhadap hukum”.14
    Dari pengertian “main hakim sendiri” seperti di atas, dapat dipahami bahwa larangan dari tindakan main hakim sendiri tersebut didasarkan “tanpa adanya proses/prosedur yang harus dilalui terduga pelaku tindak pidana sekaligus adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia”.
    Harus diakui bahwa proses/prosedur penegakan hukum pidana, selain dapat memberikan kepastian hukum sekaligus sebagai upaya dalam melindungi hak asasi manusia terduga pelaku tindak pidana.
    10 Siaran Pers Koalisi Anti Persekusi, Op., Cit
    11 Abdul Syahni, 1987, Sosiologi Kriminalitas, Bandung, Remaja Karya, hlm. 100.
    12 Ibid., hlm. 100-101.
    13 Ibid.,
        14 Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, hlm. 167.

    Berdasarkan ketentuan KUHAP, bahwa setiap terduga pelaku tindak pidana, sebelum dapat dikatakan “bersalah” terlebih dahulu diharuskan menjalani proses/prosedur tahapan dan tingkatan seperti di atas. Hal tersebut sesuai dengan salah satu asas hukum  acara pidana, yaitu praduga tak bersalah (presumption of innocence).
    Ketentuan mengenai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) tersebut dapat dilihat dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ke- kuasaan Kehakiman (selanjutnya disebut UU 48/2009), yaitu “Setiap orang yang disangka, di- tangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Guna menopang tegaknya asas praduga tak bersalah, maka ketentuan dalam KUHAP memberikan seperangkat hak yang wajib dihormati dan dilindungi oleh para penegak hukum.
    Dengan adanya        hak-hak   yang          diakui  oleh        hukum, maka kedudukan tersangka / terdakwa   menjadi   sejajar   dengan   penegak   hukum   dan   berhak   menuntut  perlakukan yang digariskan dalam KUHAP, yaitu:
    a.    Segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya diajukan kepada penuntut umum (Pasal 50 ayat 1);
    b.    Segera diajukan ke pengadilan dan segera diadili oleh pengadilan (Pasal 50 ayat 2 dan ayat 3);
    c.     Tersangka berhak untuk diberitahu dengan jelas dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51 ayat 1); Tujuan kedua hak ini untuk memberikan kesempatan kepadanya untuk menyiapkan pembelaan;
    d.   Berhak memberikan keterangan secara bebas baik kepada penyidik pada taraf penyidikan maupun kepada hakim pada proses pemeriksaan disidang pengadilan (Pasal 52);
    e.    Berhak untuk setiap waktu mendapat bantuan juru bahasa pada setiap tingkat pemeriksaan jika tersangka/terdakwa tidak mengerti bahasa Indonesia (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 177 ayat 1);
    f.     Berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasihat hukum selama waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54);
    g.    Berhak memilih sendiri penasihat hukum yang disukainya (Pasal 55);
    h.    Berhak mengunjungi dan dikunjungi dokter pribadinya selama ia dalam tahanan (Pasal 58);
    i.      Berhak untuk diberitahukan kepada keluarganya atau orang yang serumah dengan dia atas penahanan yang dilakukan terhadap dirinya. Pemberitahuan itu dilakukan oleh pejabat yang bersangkutan (Pasal 59);
    j.      Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau orang lain, guna mendapatkan jaminan atau penangguhan penahanan atau bantuan hukum (Pasal 60);
    k.    Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukumnya untuk menghubungi dan menerima kunjungan sanak keluarga, sekalipun hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kepentingan tersangka/terdakwa (Pasal 61);
    l.      Berhak mengirim surat dan menerima surat setiap kali diperlakukan yaitu kepada dan dari:
    1)    penasihat hukumnya;
    2)    dan sanak keluarganya.
    Untuk keperluan surat-menyurat ini pejabat yang bersangkutan harus menyediakan peralatan yang diperlukan (Pasal 62 ayat (1);
    m. Surat-menyurat ini tidak boleh diperiksa oleh penegak hukum, kecuali jika terdapat cukup alasan untuk menduga adanya penyalahgunaan suratmenyurat tersebut (Pasal 62 ayat 2);
    n.    Terdakwa berhak untuk diadili dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 64);
    o.    Berhak untuk mengusahakan dan mengajukan saksi dan atau seorang yang memiliki keahlian khusus guna memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (saksi a de charge Pasal 65);
    p.    Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal 66); dan
    q.    Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi atas setiap tindakan dan perlakuan penang- kapan, penahanan dan penuntutan yang tidak sah atau yang bertentangan dengan hukum (Pasal 68).
    Dari uraian di atas, dapat dipahami, jika terdapat orang atau kelompok yang diduga atau tertangkap tangan melakukan tindak pidana oleh masyarakat, sudah seharusnya dilaporkan kepada pihak yang berwajib, yaitu Kepolisian, selanjutnya jika dalam penyelidikan dan penyidikan Kepolisian menemukan unsur-unsur tindak pidana, tentu saja proses tersebut akan terus berlanjut sampai pada tahap putusan di Pengadilan.

    2.         Perkecualian Pertanggungjawaban Tindak Pidana

    Seperti yang diketahui, bahwa setiap tindak pidana harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, tidak terkecuali dalam hal tindak pidana persekusi atau main hakim sendiri (eigenrechting), pelaku persekusi juga harus mempertanggungjawabkan perbuatnnya.
    Meskipun demikian, seperti yang disampaiakan Mertokesumo, “Setiap pelanggar aturan hukum pada dasarnya harus dikenakan sanksi. Namun ada perbuatan-perbuatan tertentu yang tidak dikenakan sanksi karena adanya alasan penghapus pidana”.15
    Selanjutnya, Moeljatno, meyampaikan bahwa “perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu pidana, sehingga setiap perbuatan dapat tidaknya dipertanggungjawabkan secara pidana, tergantung dari soal, apakah dalam melakukan perbuatan ini, dia mempunyai kesalahan”.16






    _______________________________
    15 Mertokesumo 1996, dalam Lidya Suryani Widayati, Tindakan Main Hakim Sendiri Dalam Kasus Begal, Jurnal Info Singkat Hukum Vol. Vii, No. 05/I/P3di/Maret 2015, Jakarta, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data Dan Informasi (P3di) Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm. 2.
    16 Moeljatno, 1993, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 165.

    Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
    a.    Kemampuan bertanggungjawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si pembuat;
    b.    Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis pelaku yang terkait dengan kelakuannya yaitu disengaja dan kurang hati-hati atau lalai;
    c.     Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat.
    Pendapat yang disampaikan Moeljatno seperti di atas, didasarkan pada sebuah asas dalam hukum pidana yaitu “tidak dipidana jika tidak ada kesalahan”, atau yang dalam bahasa belanda disebut Geen straf zonder schuld” sedangkan dalam bahasa latin dikenal dengan istilah “Actus non facit reum misi mens sist rea”.
    Dari pendapat yang disampaikan ahli hukum pidana seperti di atas, dapat dipahami, bahwa agar tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan harus terdapatnya unsur kesalahan. Seperti yang disebutkan di atas, bahwa terdapat dimensi yang berbeda antara persekusi dan main hakim sendiri, namun karena keduanya sama-sama dilakukan tanpa melalui proses/prosedur penanganan tindak pidana sebagaimana mestinya, maka keduanya
    dapat dianggap sebagai tindak pidana.
    Meskipun sama-sama merupakan tindak pidana, namun dalam hal “perkecualian tindak pidana”, penulis harus membedakan antara persekusi dan main haki sendiri. Jika dalam main hakim sendiri, terdapat kondisi-kondisi tertentu yang mengakibatkan, main hakim sendiri tidak dapat dipidana, yaitu terdapatnya “alasan penghapusan pidana”.
    Angaplah sebuah contoh, jika terdapat seseorang yang menjadi korban pencopetan, dan pada saat aksi pencopetan tersebut dilakukan pelaku, korban mengetahui dan meminta dibalikan barangnya, dan selanjutnya terjadi perkelaian antara pelaku dan korban pencopetan, hingga pada akhirnya, pelaku pencopetan kalah dan mengalami luka-luka.
    Berdasarkan contoh di atas tersebut, jika hanya mengunakan peranggungjawaban tindak pidana dalam hal pencopetan (pencurian) dan penganiayaan, maka dapat dipastikan baik pelaku maupun korban pencopetan dapat diancam dengan pidana, jika pelaku pencopetan dapat diancam pidana dengan ketentuan Pasal 362 KUHP, yaitu “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah”.
    Sedangkan korban dari pencopetan yang melakukan perlawanan, dapat diancam dengan pasal penganiayaan, yaitu yang terdapat dalam ketentuan Pasal 351 KUHP:
    (1)      Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah,
    (2)      Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
    (3)      Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
    (4)      Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
    (5)      Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
    Sesuai dengan penjelasan di atas, untuk pelaku pencopetan/pencurian, sudah dapat dipastikan bahwa perbuatannya dapat diancam dengan pidana. Berbeda halnya dengan korban pencopetan (yang melakukan perlawanan), meskipun, tindakan dari korban tersebut menimbulkan luka-luka pada pelaku pencopetan, namun tindakan tersebut tidak dapat diancam  dengan  pidana,  karena  tidak  memenuhi  unsur-unsur  kesalahan  dalam   tindak pidana. Penjelasan tidak terpenuhinya unsur-unsur kesalahan korban pencopetan (yang melakukan perlawanan) tersebut adalah:
    a.         Dalam hal kemampuan bertanggungjawab
    b.        Adanya perbuatan melawan hukum
    Berdasarkan uraian di atas, meskipun perbuatan korban pencopetan yang melakukan perlawanan menimbulkan luka-luka pada pelaku pencopetan, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindakan main hakim sendiri, namun dalam hal pertanggungjawaban pidana, korban pencopetan tersebut tidak dapat dijatuhi sanksi pidana.
    Sedangkan dalam tindakan persekusi, dalam hal kemampuan bertanggungjawab, sudah barang tentu pelaku dalam keadaan sehat baik jasmani dan rohani, hal tersebut dapat dilihat dari usaha pelaku persekusi dalam mencari, menemukan dan mengeksekusi terduga pelaku tindak pidana, sehingga pelaku persekusi, dapat diancam dengan saksi pidana. Sedangkan unsur terakhir dari pertanggungjawaban pidana adalah tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa dalam tindakan persekusi, tidak tedapat unsur- unsur yang dapat digunakan sebagai alasan penghapus maupun alasan pembenar dalam hukum pidana.
    Alasan yang digunakan penulis adalah dalam tindakan persekusi sudah terdapat niat yang menghendaki tujuan dari persekusi tersebut, hal itu dapat dilihat dari tahapan tindakan persekusi yang dilakukan, aitu dimulai dengan mencari dan menemukan target/korban persekusi, hingga pada akhirnya melakukan persekusi pada korban, sehingga tidak memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49 maupun Pasal 51 KUHP.
    Berdasarkan uraian di atas, terdapat perbedaan yang jelas, atara pertanggungjawaban pidana (seperti contoh) dengan tindakan persekusi, jika dalam tindakan main hakim sendiri, masih terdapat unsur-unsur yang dapat digunakan untuk mengunakan alasan pembenar dalam tindak pidana, yaitu ketentuan Pasal 49 KUHP sedangkan dalam tindakan persekusi, unsur alasan pembenar atau alasan pemaaf tidak terpenuhi, sehingga dalam tindakan persekusi tidak terdapat perkecualian pertanggungjawaban pidana.
    Dengan tidak adanya perkecualian terhadap tindakan persekusi, maka setiap pelaku persekusi, harus mempertanggungjawabkan perbuatanya, karena persekusi merupakan tindak pidana dan dapat diacam dengan ketentuan pidana seperti yang diatur dalam KUHP.


    BAB III
    PENUTUP

    Seperti yang diketahui, bahwa tidak semua tindak pidana dapat diancam dengan pidana, karena terdapat alasan pembenar dan alasan pemaaf dalam tindak pidana. Untuk kondisi-kondisi tertentu, dalam tindakan main hakim sendiri, khususnya dalam hal mempertahankan diri/harta benda/kehormatannya, alasan pembenar dapat digunakan, karena memenuhi unsur-unsur yang disebutkan dalam ketentuan KUHP, khususnya Pasal 49 KUHP.
    Berbeda halnya dengan tindakan persekusi, menurut penulis, dalam tindakan persekusi tidak terdapat unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf dalam tindakannya, karena jika dilihat dari prosesnya, tindakan persekusi, diawali dengan mencari, menemukan dan mengeksekusi terduga pelaku tindak pidana, sudah barang tentu diawali dengan adanya kesengajaan sebagai niat.
    Berdasarkan uraian di atas, kiranya jelas bahwa untuk kondisi tertentu dalam tindakan main hakim sendiri, masih terdapat perkecualian pertanggungjawaban pidana, sedangkan dalam tindakan persekusi tidak terdapat unsur-unsur yang dapat digunakan sebagai alasan pembenar maupun alasan pemaaf, sehingga tidak terdapat perkecualian pertanggungjawa- ban pidana. Dengan tidak terdapatnya perkecualaian pertanggungjawaban pidana, sedah ba- rang tentu, setiap pelaku persekusi dapat diancam dengan saksi pidana sesuai dengan keten- tuan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
    Menurut penulis terdapat dua hal yang dapat digunakan untuk meminimalisirkan tindakan persekusi atau main hakim sendiri, yaitu:
    a.         Mensosialisasikan kepada masyarakat luas, apa dan bagaimana tindak pidana persekusi dan tindakan main hakim sendiri, sekaligus menyampaikan saksi-saksi dari tindakan tersebut
    b.         Membuat aturan yang secara tegas mengenai tindakan persekusi atau main tindakan main hakim sendiri dalam suatu peratruran perundang-undangan.

    DAFTAR PUSTAKA

     

    Abdul Syahni, 1987, Sosiologi Kriminalitas, Bandung, Remaja Karya.
    Agen Sindikat, Kamus Hukum Terlengkap - 11.000 istilah bahasa Inggris & Belanda, file diunduh dari laman www.academia.edu diakses pada 2 Januari 2018 pukul 22.40 wib.
    Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia. https://kbbi.web.id/persekusi diakses pada 2 Januari 2018, Pukul 21.10 wib.
    Kronologi Kasus Remaja Mario dan FPI, https://kumparan.com terbitan Jumat 2 Juni 2017, diak- ses pada 2 Januari 2018 Pukul 20. 35 wib.
    Kronologi Pasangan Kekasih Diarak, Dianiaya, hingga Ditelanjangi, http://megapolitan.kompas.- com terbitan 14 November 2017, diakses pada 2 Desember 2018 Pukul 21.00 wib.
    Martiman Prodjohamidjojo, 1984, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta, Ghalia Indonesia. Mertokusumo, 1996, dalam Lidya Suryani Widayati, Tindakan Main Hakim Sendiri Dalam Kasus
    Begal, Jurnal Info Singkat Hukum Vol. Vii, No. 05/I/P3di/Maret 2015, Jakarta, Pusat Peng- kajian, Pengolahan Data Dan Informasi (P3di) Sekretariat Jenderal DPR RI.
    Moeljatno, 1993, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta.
    Sadis! Pria di Bekasi Tewas Dibakar Karena Diduga Mencuri Ampli Masjid, http://jogja.tribunne- ws.com, terbitan  Rabu, 2 Agustus 2017, diakses pada 2 januari 2017 Pukul 20.00 wib.
    Swepping Toko Obat, Anggota FPI Diamankan Polisi, https://www.jawapos.com, terbitan Ming- gu 31 Desember 2017, diakses pada 2 Januari 2017 Pukul 20.00 wib.
    Tampar anak' dan persekusi orang, 'perilaku FPI yang harus dilawan, http://www.bbc.com terbi- tan 1 Juni 2017 diakses pada 2 Jnuari 2018 Pukul 20.30 wib.
    Teguh Prasetyo, 2010, Hukum Pidana, Jilid II, Jakarta, Rajawali Press.

  • You might also like

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar