Kesehatan Harus Mengingat Lingkungan

Galih Gumelar - Jelang debat putaran ketiga dengan mengangkat tema pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, sosial dan budaya yang akan diselenggarakan pada tanggal 17 Maret 2019 memiliki hubungan yang kuat dengan debat pada putaran kedua. Yakni ketika berbicara mengenai kesehatan, yang tidak terpisahkan dengan lingkungan hidup yang baik dan sehat.

Pada debat kedua yang salah satunya membahas lingkungan hidup, tidak satupun paslon berkomitmen untuk melakukan pencegahan pencemaran, misal dengan pengetatan baku mutu lingkungan hidup, moratorium izin pada wilayah-wilayah yang telah tercemar. Padahal, pencegahan merupakan kunci utama baik dalam pemulihan maupun pemeliharaan kualitas lingkungan, yang akan berdampak pada dampak kesehatan akibat pencemaran.

Berdasarkan laporan dari Lancet Commission on Pollution & Health (2017), pencemaran merupakan faktor lingkungan terbesar yang menyebabkan penyakit dan kematian dini di dunia. Penyakit yang disebabkan oleh pencemaran bertanggung jawab terhadap sekitar 9 juta kematian dini pada tahun 2015 (16% dari seluruh kematian di seluruh dunia) Pencemaran secara tidak proporsional membunuh orang-orang miskin dan kelompok rentan. Hampir 92% dari kematian yang terkait pencemaran terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah. Di seluruh negara terlepas dari tingkat perekonomiannya, tingkat pencemaran paling tinggi ada pada kelompok minoritas dan orang-orang yang termarginalisasi. 70% dari penyakit yang disebabkan oleh pencemaran adalah penyakit tidak menular.


Penyakit terkait pencemaran akan membebani ekonomi negara, pada negara-negara berkembang biaya kesehatan mencapai 7% dari anggaran kesehatan. Hilangnya produktivitas masyarakat akan mengurangi GDP hingga 2%. Selain itu, kehilangan kesejahteraan akibat pencemaran diperkirakan mencapai US$ 4-6 triliun per tahun.

Hingga kini, dampak kesehatan dari pencemaran tidak hanya tereksternalisasi membebani anggaran negara, namun juga pengeluaran yang ditanggung masyarakat sendiri. A. Safrudin, dkk, dalam tulisannya Cost Benefit Analysis for Fuel Quality and Fuel Economy Initiative in Indonesia, merangkum estimasi biaya kesehatan yang harus dibayarkan warga Jakarta atas penyakit-penyakit yang terkait dengan buruknya kualitas udara Jakarta pada tahun 2010. Dari Populasi Jakarta 57.8% masyarakat menderita berbagai penyakit terkait pencemaran udara. Penyakit-penyakit tersebut antara lain asma, bronchopneumonia, ISPA, pneumonia, penyakit paru konstruktif kronis, serta penyakit jantung koroner. Biaya yang harus ditanggung warga Jakarta antara 697 milyar s.d. 38,5 trilyun per tahun. Padahal, anggaran dari Kemenkes untuk seluruh Indonesia hanya 20T.

Contoh lain adalah beban ekonomi dari dampak kesehatan pencemaran air. Laporan Greenpeace (2016) dalam judul Konsekuensi Tersembunyi: Valuasi Kerugian Ekonomi akibat Pencemaran Industri, memaparkan kerugian akibat penurunan kualitas udara yang mencakup ancaman akumulasi bahan kimia berbahaya, gangguan pernafasan dari pencemaran pabrik, serta gatal-gatal pada kulit, mencapai 1,37 Triliun; Kerugian materil yang dikeluarkan warga untuk berobat atau biaya perawatan sakit mencapai Rp 67,9 milyar per tahun. Penelitian tersebut meneliti valuasi ekonomi dampak pencemaran pabrik tekstil di sekitar Rancakekek pada 4 (empat) desa di tahun 2004 – 2015.

Selain menurunkan kualitas udara, dampak dari pencemaran industri juga berimbas terhadap pangan.  Beberapa pangan memiliki sifat menyerap racun dan logam berat. Kontaminasi logam berat pada tanaman pangan di sekitar Citarum terdokumentasikan di beberapa jurnal ilmiah, begitu juga kontaminasi merkuri pada ikan, telur dan daging ayam serta beras di titik-titik tercemar merkuri. Hingga kini, pangan segar belum menjadi aspek yang dikontrol BPOM, dan Indonesia belum memiliki advisory warning untuk pangan. Paslon perlu membahas mengenai langkah konkrit untuk memastikan masyarakat bisa mendapatkan informasi dan jaminan mengenai keamanan pangan yang dikonsumsi.

Selain itu, perihal pengawasan terhadap industri-industri yang menggunakan bahan kimia dan berbahaya dan/atau menghasilkan limbah B3 juga belum tersentuh dalam perdebatan pada putaran kedua. Padahal, ketaatan industri jenis ini sangat berdampak terhadap keamanan dan keselamatan kerja para buruhnya. Beberapa K3 yang telah diadvokasi secara global karena dampak kesehatan yang sangat parah (menyebabkan kanker dan kematian dini di usia sangat muda) terhadap para buruh asbestos, industri semikonduktor, industri baterai, dan berbagai industri lain yang melibatkan bahan kimia.

Pengendalian terhadap pencemaran dari sumbernya merupakan cara pengendalian yang paling efektif terhadap penyakit-penyakit terkait pencemaran. Secara ekonomi, pengendalian pencemaran juga lebih murah dibandingkan ongkos kesehatan yang harus ditanggung. Laporan Lancet merangkum praktik-praktik terbaik di berbagai negara untuk mengendalikan pencemaran (Lancet Commission Report (2017), hlm. 40), yang mencakup intervensi jangka pendek, menengah, dan panjang bagi pencemaran udara di luar dan dalam ruangan, pencemaran air dan sanitasi, serta kontaminasi lahan dan air.

Intervensi yang sukses harus didasarkan tujuan-tujuan kesehatan publik, berdasarkan sains dan dasar hukum yang kuat, serta mengedepankan instrumen pencegahan yang menyasar sumber-sumber pencemar utama. Selain itu, diperlukan peningkatan kapasitas dalam melakukan langkah-langkah penentuan kebijakan, terutama dalam menjembatani temuan ilmiah dengan kebijakan yang akan dikedepankan.

Dalam putaran debat ketiga ini nantinya, penulis berharap pada paslon untuk mengeluarkan argumentasi yang ril saat berbicara mengenai penanganan kesehatan bagi masyarakat yang diakibatkan oleh industri. Selain penanganan kesehatan, perlu ada komitmen untuk menghormati struktur hukum yang telah dibangun untuk mencegah pencemaran terjadi sejak awal, seperti perizinan lingkungan dan baku mutu emisi atau air limbah. Selain itu, perlu ada solusi yang ditawarkan untuk pemulihan pencemaran agar masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup yang sehat dan bebas dari pencemaran.


Sumber : Margaretha Quina Dan sumber lainnya